-->
  • Jelajahi

    Copyright © Media Indosatu - Menuju Indonesia Maju
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Normalisasi KPK, Pemerintahan Presiden Berikutnya Diharap Terbitkan Perppu Tentang KPK | Fahrizal Siagian

    Redaksi
    11 Oktober 2021, 01:37 WIB Last Updated 2021-11-18T05:54:54Z
    Banner IDwebhost

    Oleh :
    Fahrizal S Siagian
    (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara)


    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau disingkat Perppu adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Presiden memiliki hak eksekutif selaku kepala negara dan kepala pemerintahan Indonesia. Presiden Indonesia memiliki hak extra ordinary power untuk membentuk suatu peraturan yang mengatur suatu hal dalam kondisi kegentingan yang memaksa. Jika mengkaji secara harfiah, hak dapat didefinisikan sebagai kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan undang-undang, aturan, dan sebagainya), kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, serta wewenang menurut hukum.


    Berdasarkan defenisi Perppu diatas, timbul suatu pertanyaan, didalam konstitusi UUD 1945 tidak disebutkan seperti apa parameter dikatakan kegentingan yang memaksa, maka seperti apa parameter dikatakan hal ihwal kegentingan yang memaksa?


    Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Perpres No.87 Tahun 2014), yang menyebutkan tentang kewenangan Presiden menetapkan Perppu yang didasarkan pada “hal ihwal kegentingan yang memaksa”, tidak memuat parameter yang jelas mengenai kegentingan yang memaksa tersebut. Namun, saya sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara (FH-UISU) selaku calon akademisi memiliki kajian akademis yang perlu disampaikan.


    Kajian saya sejalan dengan analisis saya bahwa parameter “hal ihwal kegentingan yang memaksa” itu terletak di situasi yang dihadapi oleh para penyidik KPK akhir-akhir ini. 57 Pegawai KPK dibebas tugaskan karena tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK) yang diselenggarakan KPK bekerja sama dengan BKN Pusat dan Kemenpan-RB. Ujian TWK ini merupakan buntut adanya revisi Undang-Undang 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tepatnya pada Pasal 1 ayat (6) yang berbunyi “Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara.” Maka secara otomatis, Pegawai KPK harus menjadi ASN dan mengikuti seleksi tes wawasan kebangsaan (TWK).


    TULISAN LAIN : Milenial Humbang Hasundutan Bicara dan Sadar Politik | Yedija Manullang


    Kegentingan yang memaksa itu tertelak di status pegawai KPK yang menjadi ASN yang secara ketatanegaraan KPK harus berada di bawah Kemenpan-RB dan Mendagri. Sedangkan menurut sejarah, KPK itu dibentuk pada awal era reformasi karena ketidakmampuan aparat penegak hukum dalam memberantas Korupsi. Sehingga KPK berdiri independen dan tidak terikat oleh siapa pun dalam menjalankan tugasnya. Namun hari ini, KPK telah berada dibawah kekuasaan eksekutif yang tentu mencoreng keindependensian KPK itu sendiri. Ditambah lagi dengan adanya pembebastugasan 75 pegawai KPK yang menjadi 57 Pegawai KPK karena tidak lolos ujian TWK dimaknai sebagai suatu kegentingan yang memaksa yang berdampak secara sosio-cultural. Berdampak buruk bagi penegakan hukum Indonesia khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi.


    Indonesia negara hukum sebagaimana diatur di dalam Konstitusi, namun memiliki serangkaian dramatisir terhadap KPK. Memperkuat atau melemahkan ? kalau Revisi Undang-Undang KPK dahulu untuk memperkuat KPK, dimana letak memperkuatnya ?


    Proses pembentukan undang-undang harus melalui pertimbangan yang matang, analisis yang menyeluruh, baik dari aspek filosofis, sosiologis, yuridis, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Naskah Akademik revisi Undang-Undang 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dahulu semestinya telah bisa menganalisa dampak sosial politik yang akan terjadi, kemudian pada tahapan penyusunan dan pembahasan, partisipasi publik dapat menunjukkan lebih awal tentang bagaimana respon masyarakat (positif atau negatif), namun undang-undang tersebut tetap disahkan dan dampak yang tidak diharapkan terjadi, maka Perpu dianggap sebagai solusi. 


    Harapan pada pemerintahan berikutnya terkhusus kepada Presiden yang memenangkan kontestasi politik tahun 2024, atas nama pribadi dan hati nurani pejuang pemberantasan korupsi di Republik Indonesia memohon dengan segala kerendahan hati agar Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang merupakan upaya agar secara konstitusional menyatakan tidak berlakunya Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini bertujuan agar menormalisasi kondisi KPK kembali ke habitat sebelumnya menjadi lembaga independen dalam memberantas korupsi dan tidak berstatus pegawai ASN.



    (Penulis adalah Mahasiswa Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) yang juga aktif diberbagai organisasi kemahasiswaan maupun organisasi kepemudaan serta aktif menganalisa kebijakan pemerintah yang dianggap berpengaruh terhadap kehidupan bernegara)


    Catatan : Segala sebab akibat yang ditimbulkan dari tulisan ini menjadi tanggungjawab penulis

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    close
    Banner iklan disini