KOHATI |
Eksistensi perempuan di abad 20an ini sudah diperhitungkan. Dari Persepektif kebangsaan, sudah banyak perjuangan perempuan yang digalakkan, mulai dari zaman kerajaan, zaman kolonialisme, pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan, bahkan sampai zaman reformasi sekarang ini.
Tugas perempuan dewasa ini, adalah menjaga komitmen yang telah dibangun oleh para pendahulunya, karena itu bagian dari menjaga eksistensi perempuan agar tak hilang dari pusaran peradaban.
Sejatinya, Eksistensi menurut Sartre mendahului esensi. Keberadaan eksistensi yang mendahului esensi akan
menjadikan manusia bertanggung jawab atas hidupnya.
Dengan demikian, eksistensialisme menempatkan manusia pada posisinya sebagai dirinya sendiri, dan meletakkan keseluruhan tanggung
jawab hidupnya sepenuhnya diatas pundak manusia itu sendiri.
Manusia yang bertanggung jawab atas
hidupnya sendiri tidak berarti bahwa tanggung jawabnya hanya meliputi individualitasnya sendiri,
tetapi mencakup tanggung jawab atas semua manusia (Sartre dan Jean-Paul, 2002).
Dengan demikian, ada tanggung jawab secara individual dan tanggung jawab sosial bagi perempuan, untuk meletakkan dirinya sebagai manusia yang punya hak, kewajiban, dan tanggung jawab, yang sudah menjadi keharusannya untuk dijalankan dengan baik, tanpa diskriminasi, termasuk menjaga citra dan fungsi perempuan sebagai tiang negara.
Pada hakikatnya dan menjadi keyakinan umat muslim se-antero semesta raya, bahwa Sholat disebut tiang agama.
Dan perempuan disebut pula sebagai tiang negara. Bukan tanpa dasar, perempuan disebut tiang negara karena dari rahimnya terlahir generasi, antah itu generasi Qur'ani, atau generasi cinta negeri, atau generasi yang hanya suka cari sensasi.
Maka pembentukan karakter tersebut kembali pada didikan perempuan (Ibu). Maka sudah lazimlah, saat Rasul menyebutkan bahwa Ibu disebut sebagai madrasah utama/prima bagi anak-anaknya.
Berpijak pada alasan teoritik ini, menjadi faktor pendorong pula bagi perempuan untuk menuntun dirinya jadi sosok tangguh, yang berpijak pada iman, ilmu, dan amal.
Trilogi iman, ilmu, amal itu juga senantiasa digaungkan oleh organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebagai patokan dalam berjuang dan memperjuangkan.
Untuk itu, perempuan yang tergabung dalam HMI baik terstruktur maupun tidak terstruktur dalam Korps HMI Wati (Kohati), sudah semestinya punya peranan penting menjadi teladan bagi publik, baik melalui dakwah keagamaan maupun kebangsaan, yang menaikan citranya dan melaksanakan peranannya sebagai bagian dari Kohati HMI, berkomitmen pada aspek teologi maupun membangun negeri.
Ditarik pada benang merahnya, bahwa Korps HMI Wati adalah badan khusus HMI yang bertugas membina, mengembangkan dan meningkatkan potensi HMI-Wati dalam wacana dan dinamika gerakan keperempuanan. KOHATI memiliki tujuan untuk membentuk anggotanya menjadi Muslimah yang Berkualitas Insan Cita.
Tanpa menafikan organisasi perempuan lainnya, Eksistensi Kohati HMI ini menjadi tolak ukur peradaban gerakan keperempuanan. Bahkan bukan menjadi hal yang langka, banyak diantara kader HMI Wati memimpin HMI, dari di komisariat, cabang, bahkan BADKO HMI, dan dsb.
Peranan itu hanya contoh kecil, bahwa tugas perempuan bukanlah hanya dapur dapuran semata-mata, atau kasur-kasuran saja, namun lebih dari situ. Bahwa keberadaan Kohati, juga mampu menepis sikap patriarkinya republik ini, bahwa perempuan juga mampu mengabdi, berjuang, dan memimpin ibu pertiwi.
Dalam kacamata realitas, bahwa masih ada Konsekuensi logis yang harus diterima perempuan, yakni terdegradasi mereka dari kesempatan dan peluang dalam hal aktualisasi potensi diri.
Namun keterbelakangan itu, berusaha keras di tentang oleh organisasi gerakan perempuan, baik mahasiswi maupun masyarakat biasa, termasuk pula adanya gerakan ke-kohati-an dalamnya.
Sejarah mencatat sudah sejak lama laki-laki menggunakan motif-motif norma dan moral sebagai legitimasi posisinya menjadi individu yang superior atas perempuan yang dianggap sebatas sub-
ordinat. Laki-laki, dengan begitu, mendesak perempuan untuk terus menjadi eksistensi yang termarginalkan, terpinggirkan, dan hanya sekadar pelengkap (Az-Zahra: Journal of Gender and Family Studies Vol.1 No.2, 2021: 66-77).
Peristiwa keterbelakangan perempuan itu, baik karena faktor internal maupun eksternal, menjadi sebuah persaksian empirik bagi KOHATI untuk berperan dan terus mengambil bagian dari gerakan keperempuanan direpublik ini meningkatkan peranannya terhadap negeri. Karena peranan perempuan dalam menuntut kesetaraan atas hak, kesetaraan dalam berpeluang membangun negeri, merupakan bagian dan salah satu bentuk perlawanan yang dilancarkan perempuan di ranah publik.
Karena, hampir disetiap budaya yang menempatkan posisi perempuan dibawah dominasi laki-laki yang diluar dari pembatasan yang wajar, oleh karenanya gerakan perempuan termasuk KOHATI HMI didalamnya berusaha menepis keangkuhan itu.
Banyak cara dan Ikhtiar KOHATI sebagai bagian dari gerakan perempuan untuk meletakkan Eksistensinya sebagai manusia yang punya kehendak dan kebebasan (namun tetap bersandar pada nomokrasi).
Cara tersebut, juga bisa dilakukan lewat pendekatan feminisme eksistensialis yang disusun oleh Beauvoir dengan empat strateginya yaitu bekerja, mendalami kemampuan intelektual, menjadi agen transformasi sosial di masyarakat dan menolak ke-liyananya, membantu perempuan untuk menunjukan eksistensinya (Sholihah, 2018).
Eksistensi itu bisa menjadikan perempuan sebagai titik sentralnya peradaban dan eksistensi perempuan sebagai bentuk aktualisasi yang akan dilakukan oleh perempuan.
Kesadaran dan penyadaran atas eksistensi keperempuanan itu, membuat Kohati HMI terus melakukan gerakan Feminisme. Bukti empirik nya adalah, para HMI Wati merasa ingin hak nya sebagai perempuan terus dijaga, dan juga bisa berperan dengan baik.
Cara tersebut dibuktikan dengan didirikannya Korps HMI Wati ini, pada 2 Jumadil Akhir 1386 H bertepatan dengan tanggal 17 September 1966 Masehi.
Dan sekarang, ditahun 2022 ini, usia Kohati telah berumur setengah abad lebih yakni 56 tahun, dan perjalanan Kohati itu telah membuktikan, perempuan juga bisa memimpin, perempuan juga punya logika dan rasio tinggi, tak hanya sebatas mimpi.
Gerakan feminisme yang sudah maupun akan dibangun oleh KOHATI HMI itu sebagai upayanya menjadikan perempuan memiliki kualitas insan cita.
Pada praktiknya, langkah penyadaran akan peran dan fungsi perempuan baik itu dalam ruang-ruang publik maupun domestik, berupaya dilakukan oleh KOHATI, seperti adanya program dari KOHATI PB HMI, BADKO, Cabang, bahkan pada tingkat komisariat, khususnya pada program peningkatan, perlindungan dan pemberdayaan terhadap perempuan.
Peranan perempuan itu telah dibuktikan, dari sektor ekonomi bahkan politik. Seperti dalam catatan Kemenkopmk (15 Nov 2019), keterlibatan perempuan pada bidang-bidang lain, termasuk politik dan pemerintahan.
Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Jusuf Kalla pada 2014-2019, perempuan kian diberdayakan dengan ditetapkannya peraturan mengenai kuota 30% untuk keterwakilan perempuan dalam politik.
Pada hakikatnya, baik laki-laki maupun perempuan, sudah semestinya memenangkan gerakan feminisme, dan meminimalisir adanya budaya patriarkis. Kenapa,? bahkan rasul Muhammad Saw saja, tak ingin patriarkal juga terus merajalela.
Nabi Muhammad Saw, dalam menata dan membangun umat tidak memandang pada spesifikasi yang dimiliki oleh seseorang tetapi beliau mengajarkan bagaimana saling menghargai dan menghormati satu sama lain tanpa memilih merek biologis, (Muhammad Alhiyyah Al Barashi, 1975:23).
Baik HMI Wan, maupun HMI Wati, telah menjadi deklarator penting untuk mewujudkan tatanan masyarakat adil makmur. Keduanya punya siasat dan peran strategis menuju kualitas insan cita, tanpa adanya diskriminasi atas hak dan perannya.
Tak heran dalam, mars Kohati juga disebutkan "Wahai HMI wati semua, Sadarlah kewajiban mulia, Pembina Pendidik Tunas Muda, Tiang Negara Jaya". Artinya, Kohati sebagai kaum perempuan ingin menjadi fasilitator bangsa ini, melahirkan generasi yang peduli.
Perempuan dewasa ini tak lah hanya sebagai instrumen reproduksi, namun juga bisa menguasai alat-alat produksi. Bukan hanya pelengkap birahi, namun juga diikutsertakan membangun negeri, dan dalam gerakan perempuan Kohati, semoga tercapai sesuai mekanisme agama dan juga aturan bernegara.
Selamat milad Kohati HMI Ke-56 Tahun
Dedikasi Kohati Untuk Negeri "Ikhtiar KOHATI Membentuk Generasi Yang Mandiri".
Penulis: Arwan Syahputra
(Arwan Syahputra, menjabat sebagai Wasekum PTKP HMI cabang Lhokseumawe-Aceh Utara, Provinsi Aceh)