-->
  • Jelajahi

    Copyright © Media Indosatu - Menuju Indonesia Maju
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Mahmud Marhaba: Pemerhati Jurnalis Siber Siap Kawal Transisi Energi Terbarukan di Indonesia

    Redaksi
    28 November 2022, 02:35 WIB Last Updated 2022-11-27T20:02:13Z
    Banner IDwebhost

    Transisi energi 

    Jakarta, INDOSATU.ID - Pemerintah Indonesia sedang berupaya mendorong proses transisi energi melalui energi baru terbarukan.

    Serta efisiensi energi dan menargetkan 23 persen dari total energi bersumber dari energi baru terbarukan di tahun 2025.

    Target ini mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Kebijakan ini yang dipadukan dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi hingga 29 persen pada tahun 2030.

    Untuk saat ini, kapasitas terpasang energi terbarukan baru mencapai 13 persen dari total bauran energi di tahun 2020 dari data Perusahan Listik Negara (PLN) 2021. 

    Dalam kurun waktu 5 tahun ke depan dibutuhkan kenaikan persentase suplai energi terbarukan sebesar 12 persen untuk mencapai target.

    Pembangunan energi terbarukan berhadapan dengan tantangan koordinasi pusat-daerah, geografi, teknologi-biaya, regulasi-insentif, dan kapasitas institusi. Target peningkatan pangsa energi terbarukan sulit dicapai.

    Sampai dengan semester I tahun 2020, total kapasitas pembangkit listrik terpasang nasional sudah mencapai 71 GW. 

    Pembangkit listrik berbahan bakar batu bara masih mendominasi suplai energi listrik di Indonesia, sedangkan pembangkit listrik EBT mengambil porsi 14,69 persen dari total kapasitas pembangkit listrik terpasang nasional.

    Bob S Efendi selaku Chief Operating Officer (COO) PT Thorcon Power Indonesia mengatakan, jika saat ini Eropa sedang diserang krisis energi yang mengakibatkan krisis ekonomi.

    Sedangkan Indonesia, untuk saat ini belum terdampak krisis energi, maka dari itu pemerintah Indonesia harus bijak dalam mengambil keputusan terkait energi.

    "Saat ini Eropa sedang diserang krisis energi yang mengakibatkan krisis ekonomi. Indonesia saat ini belum terdampak krisis energi," sebut Bob dalam exclusive energy webinar yang diselenggarakan Komunitas Energi Millenial Indonesia Raya, Sabtu (12/11/2022).

    Sesi diskusi exclusive energy webinar ini diselenggarakan Komunitas Energi Millenial Indonesia Raya.

    Seminar online (daring) ini dilakukan bekerjasama dengan Ikatan Alumni PIMNAS bekerjasama dengan CentennialZ, Prestative, PMPI, FIM Jakarta, INYS, UKM Penelitian UNY, Sudah Klik, dan Pemerhati Jurnalis Siber (PJS).

    Adapun temannya, mengangkat ‘A PRACTICAL SOLUTION TO ENERGY TRANSITION WITHOUT SUBSIDY AND ACHIEVING ENERGY SECURITY’. 

    Dalam Webinar ini mengajak untuk bersama-sama memahami transisi energi yang sedang digadang-gadang pemerintah dan menjadi pembahasan utama di G20 Bali.

    "Alhamdulillah Indonesia belum mengalami krisis energi, Oktober 2021 menjadi permulaan Eropa mengalami krisis energi tersebut. Energi itu tidak dapat disamaratakan, ada yang berguna untuk ekonomi adalah energi premier yang dapat dipakai langsung, hampir semua energi premier adalah fosil," tambah Bob lagi.

    Msih menurutnya, untuk mengejar target net zero tentunya diperlukan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang dapat menghasilkan tenaga listrik besar dan tidak menghasilkan emisi ditambah dengan kemananan yang tinggi.

    "Tidak semua resiko berdampak bahaya, pemerintah memberikan izin maka kegiatan itu praktis dan tidak berbahaya, dan kematian per Terawatt Hour PLTN adalah yang terkecil dibandingkan dengan PLTU," jelasnya.

    Sementara itu, pada sebelumnya, Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan Republik Indonesia, menyebut butuh biaya besar untuk bisa mewujudkan net zero emission (NZE) pada 2060 mendatang sebesar Rp 3.500 triliun. 

    Dikatakannya lagi, biaya sebesar itu juga tidak sepenuhnya menurunkan emisi karbon, hanya 41 persen saja.

    Bob berpendapat, dengan menggunakan energi baru terbarukan dapat dipastikan akan digunakan skema subsidi untuk itu.

    Apabila tidak dilakukan subsidi, maka masyarakat akan menerima dengan harga mahal untuk harga energi tersebut.

    "Transisi energi membutuhkan biaya yang sangat besar yang diharap dari negara donor. Asumsi transisi energi itu harus mahal dan ada subsidi, kalau di Thorcon tidak harus melakukan subsidi," jelas Bob.

    PLTN tentunya lebih mudah dan terjangkau jika dibandingkan dengan energi baru terbarukan, serta dapat bersaing dengan PLTU secara harga, dan yang paling terpenting tidak menghasilkan emisi karbon.

    "Kalau transisi energi mahal, maka yang akan menjadi korban adalah masyarakat," tutupnya.

    Sementara itu, Plt Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Pemerhati Jurnalis Siber (DPP PJS) memberikan apresiasi atas penyelenggaraan webinar proses transisi energi melalui energi baru terbarukan serta efisiensi energi tahun 2025 mendatang.

    PJS yang beranggotan sekitar 1.000 lebih jurnalis siber itu siap mengawal proses ini hingga target yang diharapkan sekitar 23 persen dari total bauran energi bersumber dari energi baru terbarukan di tahun 2025 akan terwujud.

    "Tentunya ini wajib didukung untuk ketersediaan energi di masa mendatang. PJS siap mengawal dan mensukseskan program pemerintah yang berpihak pada kepentingan rakyat," tutur Mahmud Marhaba, selaku Ketua Umum PJS.

    Diketahui kemudian, DPP PJS akan menggelar Musyawarah Nasional (Munas) pertama pada 25-27 November 2022 pada bulan ini. (PJS/Red)
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    close
    Banner iklan disini