Foto: Koleksi Pribadi |
Penulis: Jacob Ereste
Banten, 10 Desember 2022
Empat Malaikat senior itu sudah datang. Mereka langsung duduk di teras rumah, dalam sesaat mereka seperti langsung membicarakan sesuatu, seperti hendak langsung mengambil keputusan yang harus mereka pastikan secara bersama.
Aku pun termangu takjub menyambut mereka nyaris tanpa ucap. Kecuali hanya sapaan paling sederhana yang sudah sering kulafalkan di pesantren dulu : "Assalamu'alaikum warahnattullahi wabarakatuh".
Mereka serempak menjawab, seperti koor dalam acara nyanyian di gereja yang sangat kompak dan sempurna. Sungguh aku terpesona, tanpa rasa takut dan gentar kutatap satu di antara wajah mereka yang kuanggap paling senior. Tapi nyatanya sangat lembut dan menyejukkan.
Kukira, belum pernah aku menatap wajah satu makhluk terganteng atau bahkan tercantik di dunia, ketika menatap wajahnya.
Paras mukanya begitu mengagumkan. Pandangan matanya pernah bersahabat. Senyumnya pun sedikit menyungging, seakan tak hendak menunjukkan sikap berlebih seperti yang acap di tampilkan manusia di kota.
Saat mereka berbincang-bincang, seakan-akan tengah untuk saling meyakinkan di antara yang satu dengan yang lain.
Aku jadi terkenang pada almarhum Ayah, almarhumah Bunda, dua kakandaku yang yakin telah di sorga serta Uni tercantikku yang selalu sembunyikan rasa kasih dan sayangnya untukku.
Bahkan almarhum Pakcik dari pihak Ibuku yang selalu memberikan motivasi semangat hidup ini sesungguhnya penuh perjuangan.
Berbeda dengan adik Pakcikku, yang kata banyak orang sangat mirip dengan wajahku, beliau langsung mengajak praktek, misalnya ketika mengajak ke kebun dengan grobak sapinya yang sangat setia.
Dari Pakcik terkecil inilah aku belajar tentang filsafat kehidupan. Mulai dari kesetiaan sapi penarik grobak kami yang pernah dihadang seekor macan di tengah perjalan ke kebun yang relatif jauh dari kampung kami, sapi warisan kakekku itu terus mendengus-dengus sambil melepaskan dirinya dari kungkungan kekang grobak.
Dalam situasi seperti itu, Pakcikku sangat paham dengan cara mengulur tali kekangnya agar sali itu bisa kebih seleluasa mungkin, karena sapi itu hendak berputar-putar mengelilingi grobak yang kami berdua tumpangi.
Seakan-akan hendak mengatakan kepada harimau yang sedang menghadang perjalanan kami itu tidak boleh berbuat tidak senonoh dan segera memberi jalan bagi kami untuk meneruskan perjalan ke kebun.
Hingga sekarang, aku tak paham apakah itu suatu pengalaman spiritiual atau apa sebutan lainnya, sebab harimau itu seperti penuh kerelaan menyisih lalu menghilang ke dalam semak belukar hutan perawan yang sekarang sudah banyak dijarah orang.
Yang fantastik, sapi warisan Kakekku itu pun segera menghentikan dengusan kegarangannya, begitu sang harimau itu menghilang dari pandangan.
Sapi kesayangan keluarga kami itu langsung kembali mengambil posisi untuk menarik grobak guna meneruskan perjalanan kami ke kebun.
Yang juga tak pernah aku paham, selama adegan menegangkan tadi itu, Pakcik selaku melakukan semacam komando kepada sapi tersayang kami itu, dengan bahasa ngeracau yang tak pernah aku paham artinya.
Bahkan, selama adegan yang menegangkan itu, aku tak digubris sedikitpun oleh Pakcik, kecuali hanya selalu memposisikan diriku di belakang dirinya.
Hari ini kukira, setelah peritiwa itu terjadi pada 62 tahun silam, aku menduga ini semua merupakan bagian dari serangkaian pengalaman spiritual yang perlu dan patut kurenungkan.
Semua itu kukira telah membentuk keyakinan dan keberanian diriku seperti mau ikut mencari solusi konflik Aceh pada tahun 1980-an yang berkepanjangan berlangsung.
Seperti pengalaman saat penerbangan bersama satu keluarga dengan pesawat sejenis Fokker yang sungguh tak bisa kulupakan sampai sekarang.
Dalam penerbangan dengan pesawat yang tak lazim dan cukup renta itu, sungguh nyaliku menjadi ciut.
Sehingga semua do'a para Nabi yang kuingat habis tuntas kubaca dalam hati selama penerbangan itu.
Tapi saat kutoleh keempat Malaikat yang duduk penuh santai di beranda rumah kontrakku yang sangat sederhana ini, mereka sedemikian menyatakan pamit penuh sopan dan santun sambil melambaikan tangan pertanda hendak pergi, sambil mengucapkan Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Saking takjub dan terpesonanya aku, tak pasti kuingat, apakah salam mereka itu pun sempat kubalas atau tidak.
Sebab ada sejumlah pertnyaan -- setidaknya konfirmasi -- yang perlu aku sampaikan kepada mereka, agar semua dapat jadi terang berderang adanya.
[Selesai]