Jacob Ereste | Foto: Dok Pribadi |
Penulis: Jacob Ereste
Banten, 12 Desember 2022
Manusia
yang tak punya rasa malu itu dapat segera dipastikan tidak punya etika,
tidak ber mmoral dan tidak punya akhlak. Sebab etika, moral dan akhlak
itu cermin nyata dari harga duri dan martabat kemanusiaan manusia untuk
membedakan dirinya dari makhluk lain yang tak layak disebut manusia.
Jadi
siapapun yang kembali mewacanakan adar jabatan Presiden dapat melampaui
batas dua priode jelas menghina akan sehat, khianat terhadap
konsitutusi yang sudah diacak-acak itu dan semakin merusak tata negara
yang sudah rusak.
Ketika Pemilu harus ditunda,
bukan sekedar mengencingi demokrasi yang sudah dibangga-bangakan
hebatnya di Indonesia, tetapi bagaimana untuk sejumlah Kepala Daerah
Provinsi dan Kabupaten serta Kotamadya misalnya yang sudah dinonaktifkan
dan diganti seenaknya oleh pejabat yang merasa memiliki wewenang untuk
menunjuk penggantinya dengan pejabat sementara itu.
Mungkin
boleh dicoba untuk membuktikan jika kerusuhan tidak bakal terjadi
dengan ulah yang culas itu. Sebab kekesalan warga masyarakat seperti
sudah menembus ubun-ubun, tak lagi mampu ditahan. Belum lagi beban hidup
yang semakin mencekik.
Warga masyarakat bukan
tidak peka terhadap dirinya yang diperlakukan semacam bulan-bulanan
permainan yang tak diangap sebagai apa-apa.
Jadi
anggapan terhadap rakyat itu tak tahu apa-apa dan tidak akan bereaksi
diluar perkiraan banyak orang, adalah sebuah kecerobohan. Sebab rasa
sabar dan kemamluan menahan kejengkelan itu pasti ada batasnya.
Karena
itu pemerintah dengan segenap aparatbya patut memahami kondisi
psikologis rakyat yang terus membungkum. Karena pada puncak klimaknya
yang dilakukan bukan lagi kata-kata, tetapi tindakan menurut mereka yang
sesuai memuaskan semacam dendam yang sudah terkalu lama terpendam.
Sikap
munafik, hipokrit bukan tidak dipahami rakyat, sebab sejak jamannya
Mochtar Lubis dahulu sudah mengingatkan sikap buruk tersebut.
Minimal
begitulah hidup suburnya kaum penjilat, pencari kesemparan ditengah
kegaduhan, sekedar untuk menyelamatkan diri sendiri.
Seperti
fenomena digagas sejumlah Posko Negarawan oleh tokoh GMRI untuk
menjawab krisis etika, krisis moral dan krisis akhkak yang tak mungkin
diharap tampilnya seorang negarawan yang berpikir dan berjuang demi dan
untuk negara serta bagi segenap warga bangsa Indonesia.
Sejumlah
Posko Negarawan yang sudah didirikan di berbagai daerah dan tempat,
sesungguhnya bermula dari GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia)
dengan fokus utama membangun etika, moral dan akhlak tanpa kecuali dari
bilik agama serta kepercayaan apapun.
Yang
utama, dengan modal ajaran dan tuntunan agama masing-masing, setiap
orang diharap dapat semakin mendekatkan dirinya kepada Tuhan.
Basis
etika, moral.dan akhlak sumber dan nilainya sungguh banyak yang dapat
digali dan dikembangkan dari ajaran dan tuntunan semua agama yang dapat
dipastikan akan selalu mengarahkan pada sikap bijak dan sikap baik
kepada semua manusia yang lain.
Itulah
hakekat dari pemahaman paling sederhana yang dimaksudkan dari rachmatan
lil alamin itu. Dan manusia -- sepatutnya meneguhi dirinya dari
pengertian khalifah Tuhan di muka bumi.
Pada
akhirnya, sikap kemaruk, tamak, rakus -- tak hanya harta benda semata,
tapi juga jabatan dan kekuasaan diminan dilakukan oleh mereka yang
pintar, kaya, memiliki jabatan dan posisisi penting -- entah di
pemerintah atau perusahaan raksasa -- tetapi tudak punya etika, moral
dan akhlak.
Dan semua koroptor dan para
pengentit duit rakyat itu -- adalah orang pintar. Tapi, ya itu tadi
tidak punya etika (budaya), moral dan akhlak yang diteguhi sebagai
ikatan (keyakinan) kepada Tuhan.
Maka itu
wajar, nilai sakral kesepatakan bangsa Indonesia seperti yang tertuang
dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila seperti barang mainan.
Padahal,
para pejuang bangsa yang telah menebus kemerdekaan bangsa Indonesia
dengan sepenuh jiwa dan raga, pasti akan mengutuk para pengkhianat
bangsa dan pengkhianat negara ini.
Hanya saja, azabnya mungkin akan mengenai anak dan cucumu kelak, atau sudah mulai kalian rasakan mulai hari ini.
Sebab
rintihan rakyat mengenai hukum yang jadi mainan dan transaksi bisnis,
harga kebutuhan pokok yang dibiarkan liar dan ganas memeras rakyat,
serta kesembronoan tata kelola asset bangsa, cukup menjadi kutukan yang
akan segera dirasakan. Sebab suara rakyat adalah suara Tuhan.
Begitulah,
ketika suara rakyat diabaikan, hanya kutukan dan azab yang akan datang
menghampiri kalian yang khianat terhadap rakyat.