Jacob Ereste (Foto: Koleksi Pribadi) |
Penulis: Jacob Ereste
Banten, 11 Desember 2022
Sungguh tidak lagi punya rasa malu dan tak memiliki akal sehat, siapapun di negeri ini yang mengusulkan atau menggiring dan mewacanakan agar jabatan Presiden RI bisa diperpanjang atau dijabat sampai tiga periode.
Karena hanya akal licik dan busuk mereka yang menginginkan perpanjangan jabatan Presiden seperti itu untuk terus berlanjut pada periode ke tiga, sungguh tak tahu diri dan tak tahu malu.
Sebab bagi rakyat, pergantian rezim penguasa adalah harapan adanya perubahan menuju perbaikan yang lebih baik dan tidak cuma sekedar menjanjikan masa depan yang cerah.
Perubahan itu tak hanya teehadap sistem, tetapi juga berikut semua penyelenggara negara yang brengsek. Tidak punya etika, tidak moral dan tidak memiliki akhlak, sehingga komitmen berbangsa dan bernegara semakin jauh tujuan utama UUD 1945 dan Pancasila.
UUD 1945 yang sudah remuk redam diacak-acak secara bertahap dan sistematis dengan cara amandemen itu, kondisinya sekarang sama seperti tercongkel ruh Pancasila dari semua silanya yang ada.
Mulai dari menjalankan ajaran dan tuntuntan agama, kemanusian yang justru semakin tak berabad, hingga dan persatuan yang dibuat tercabik-cabik sampai budaya mayawarah mufakat yang tak sama sekali tercermin dalam memutuskan segala sesuatu, termasuk UUD 1945, UU Cipta Kerja yang tidak terbukti bisa mengatasi masalah pengangguran, tapi justru memberi peluang pada angkatan kerja asing.
Lalu KUHP yang dipaksakan juga itu sampai perlu disergah oleh PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) karena pongahnya DPR RI yang semeba-mena memgesahkan RKHUP menjadi KUHP.
Jadi jelas tidak bermalunya DPR RI yang songong itu seperti tidak bermalu untuk tetap mengatas namakan wakil rakyat, padahal rakyat sendiri jelas menolak produk hukum yang disahkan secara paksa itu.
Begitulah tragisnya warga bangsa Indonesia, ketika ada sejumlah manusia yang tidak lagi memikiki rasa malu, sampai DPR RI merasa perlu disergah oleh lembaga internasioal -- PBB -- yang sangat mengkhawarirkan praktek demokrasi di Indonesia cuma omong kosong belaka, seperti UUD 1945 dan Pancasila yang cuma jadi asesoris itu.
Kecuali itu BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) yang culas mengklaim hingga patut memberi pembinaan terhadap ideologi bangsa, sosok para pembinanya sendiri tidak jelas bisa memberi jaminan lebih Pancasilais dari warga bangsa Indonesia yang lain. Dan pekerjaannya pun juta tidak jelas, kecuali untuk bagi-bagi jabatan dan pembagian dana semacam pembungkaman.
Sentilan Direktur P3S (Political and Public Policy Studies) terhadap Bambang Soesatyo yang genit mengulang wacana jabatan Presiden hendak tiga periode jelas pengkhianatan terhadap konstitusi (UUD 1945).
Bayangkan, hanya dengan merujuk pada hasil survey Potracking Indonesia -- yang juga tak jelas itu, karena mengklaim 73,2 persen publik puas terhadap kinerja pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, bisa dujadikan sandaran kegenitan.
Sikap seperti itu jika tidak bisa disebut penjilat, adanya hasrat untuk ikut menikmati kekisruhan dalam tata negara Indonesia yang semakin kacau.
Sebab dampak ikutannya jika jabatan Presiden diperpanjang, itu artinya legislatif dan yudikatif pun jadi panggah, ikut menikmati masa penderitaan dan kesengsaraan warga bangsa Indonesia semakin dibebabani oleh berbagai pajak, termasuk mereka yang sudah wafat di negeri ini. Karena kuburannya pun tetap harus dikenakan retribusi.
Sementara tiga Kementerian diberitakan secara gencar oleh berbagai media ikut mendukung rencana lelang pulau Widi yang telah dikuasai pihak swasta itu. Jadi habis sudah, bumi dan air serta semua isi perut bumi mereka kuras untuk memperkaya diri dan gerombolannya sendiri.
Artinya, untuk membenahi negeri ini memang harus ada perubahan besar -- jika tidak bisa disebut revolusi, minimal reformasi besar-besaran di semua lembaga pemerintah -- bila tidak dera dan derita rakyat tidak akan pernah dapat dibenahi.
Dukungan Polri untuk ikut memberantas korupsi di Indonesia jadi semakin menunjukkan sikap yang naib. Polri jadi terkesan hanya menjadi oktor pendukung upaya memberantas korpsi di Indonesia.
Artinya, bisa dipahami bahwa Polri sudah sepenuhnya melepaskan diri dari tugas utamanya untuk meringkus semua korupsi di Indonesia yang tekah diambil alih oleh KPK (Komisi Pemberantasan Koropsi), sehingga keberadaan KPK semakin leluasa melakukan segala urusan yang berkaitan dengan para koruptor.
Bupati Bangkalan bersama lima orang Kepala Dinas Kabupaten Bangkalan ditangkap KPK atas kasus suap lelang jabatan. (Tinta Infornasi.Com).
Lewat akun Istigram resmi Kapolri, yaitu @listyosigitprabowo menyampaikan bahwa peringatan hari antikorupsi sedunia merupakan salah satu cara menumbuhkan kesadaran setiap orang terhadap dampak buruk korupsi.
Sementara disebelah sana, KPK -- lagi-lagi -- menetapkan dua hakim agung sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengururan perkara.
Pesan Syarifudin pun menjadi terkesan lucu terhadap KPK yang meringkus dua anak buahnya, agar KPK tetap mengedepankan azas praduga tak bersalah, karanya di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan kepada wartawan seusai Memperingati Hari Anri Korupsi, Jum'at, 9 Desember 2022.
Pesan Syarufudin ini terkesan sangat takut pada KPK tidak akan melaksanakan azas praduga tak bersalah dalam mengusut kasus dugaa suap kedua anak buahnya.
Jadi, jika sudah begitu kecurigaan adanya, masihkah ada pejabat yang dapat percaya sebagai penyelenggara negara maupun pemerintah di negeri ini yang masih bisa dipercaya?.