Cawapres yang mendampingi Anis Baswedan masih tanda tanya | Foto: ist |
Penulis: Sutrisno Pangaribuan
Medan, 16 Januari 2023
Beberapa waktu yang lalu, Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali menyebut koalisi perubahan akan bubar jika ada yang memaksakan diri menjadi Cawapres Anies Rasyid Baswedan (Anis).
Pernyataan tersebut kemudian direspon oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan memastikan dirinya tidak mau memaksa dan dipaksa untuk menjadi Cawapres Anis.
Rencana koalisi tiga partai ini semakin tak tentu arah, karena sejak awal motivasinya hanya untuk berbeda dengan koalisi partai yang ada di pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Semula, ketiga partai ini hendak memanfaatkan momentum hari Pahlawan, 10 November 2022 untuk mengadakan deklarasi.
Kemudian berubah menjadi awal tahun 2023, namun hingga saat ini api perubahan yang digelorakan justru terancam padam.
Senada dengan Partai Demokrat (PD), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga menyodorkan nama untuk menjadi Cawapres, yakni Ahmad Heriawan (Aher).
Gubernur Jawa Barat (2008-2018) ini diyakini tepat mendampingi Anis, karena cukup dikenal dan diyakini mampu meraup suara di Jawa Barat.
Pengalaman Aher sebagai Gubernur Jawa Barat dua periode dianggap merupakan nilai lebih dibandingkan AHY.
Dinamika tersebut dipastikan akan makin alot karena PD dan PKS mengharapkan efek elektoral dari kadernya yang menjadi Cawapres Anis.
PD seolah berharap kebangkitan bagi partainya setelah tidak masuk pemerintahan selama sepuluh tahun.
Sementara PKS sedang menghadapi pertarungan hidup dan mati di basis yang sama dengan Partai Gelora.
Maka PKS sangat menginginkan kadernya menjadi Cawapres bagi Anis, demi menambah semangat menghadapi Pemilu 2024.
Sementara itu, Partai Nasdem mengharapkan PD dan PKS legowo, dan menyerahkan mandat penuh kepada Capres Anis untuk menentukan Cawapresnya.
Partai Nasdem beralasan bahwa Anis bukan kadernya, sehingga PKS dan PD pun tidak harus memaksakan kadernya untuk mendampingi Capres Anis.
Partai Nasdem bermanuver dengan memunculkan sejumlah nama, yakni Andika Perkasa (Mantan Panglima TNI), Khofifah Indar Parawansa (Gubernur Jawa Timur), Yenny Wahid, (Tokoh Perempuan NU), Taj Yasin Maimoen (Wakil Gubernur Jawa Tengah).
Manuver Partai Nasdem tersebut sebagai strategi agar Partai Nasdem yang mendapat efek electoral dari pasangan Capres Anis.
Kemudian Partai Nasdem juga ingin menjadi leader koalisi perubahan untuk menghadapi Partai Demkorasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dianggap menjadi leader koalisi lawannya.
Partai Nasdem sedang memainkan akrobat politik, deklarasi Capres antitesa Jokowi, tetapi tidak ingin kehilangan kursi di kabinet Indonesia Maju.
PD Retreat di Pacitan
Di tengah peliknya dinamika koalisi perubahan, PD menggelar retreat di Pacitan, tempat kelahiran Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
PD yang kini dipimpin ayah dan anak, SBY dan AHY sedang ingin melakukan penyegaran dan penegasan kembali bagi segenap kader utama PD terhadap peta jalan menuju sukses Pemilu 2024.
PD meyakini bahwa koalisi perubahan pada saatnya akan menjadi “game changer”, karena figur Cawapres pendamping Anis memiliki modal elektabilitas yang memadai dan menjadi representasi aspirasi perubahan.
Sebelum menggelar pertemuan tertutup, AHY terlebih dahulu meresmikan kantor DPC PD Pacitan. Pada kesempatan tersebut, AHY diteriaki presiden oleh emak-emak.
Teriakan itu tentu berbeda dengan komunikasi politik yang dibangun elit PD bersama koalisi perubahan. Kader emak-emak mengharapkan AHY jadi presiden, sementara elit PD hanya berjuang agar AHY menjadi Cawapres mendampingi Anis.
Selain berbicara terkait Pileg dan Pilpres, retreat PD di Pacitan dimanfaatkan oleh Ketua Majelis Tinggi PD, SBY untuk menjelaskan tentang museum SBY-ANI.
Museum yang berisi catatan kepemimpinan SBY selama dua periode (2004-2014). Pelunasan hutang negara kepada IMF, penanggulangan bencana tsunami Aceh menjadi bagian yang dijelaskan SBY kepada peserta retreat PD.
Kornas: “Lebih Baik AHY Maju di Pilkada Jawa Timur”
Ketidakjelasan arah dari koalisi perubahan, organisasi Kongres Rakyat Nasional (KORNAS) memberi saran dan masukan kepada Ketum PD, AHY agar mempersiapkan diri maju di Pilgub Jawa Timur 2024.
Gagasan ini mengacu kepada role model kepemimpinan nasional yang dirintis Presiden Jokowi. Sejak Jokowi, Gubernur DKI Jakarta saat itu bertarung menghadapi Prabowo Subianto selaku Ketum Partai Gerindra, maka jalan paling mudah menjadi Capres dan Cawapres adalah Gubernur atau Wakil Gubernur.
Sejumlah nama yang potensial maju di Pilpres 2024 adalah Ganjar Pranowo, Anis, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Aher, dan Khofifah.
Semuanya adalah Gubernur dan Wakil Gubernur yang diyakini memiliki basis konstituen.
Sementara itu, AHY hanya memiliki pengalaman kalah bertarung di Pilgub DKI Jakarta 2017. Maka AHY lebih tepat untuk tidak memaksakan diri untuk menjadi Cawapres 2024.
Jika mengacu pada proses mengikuti Pemilu, justru Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) lebih berpengalaman dan memiliki basis konstituen yang jelas.
Sebagai organisasi rakyat pendukung Ganjar Pranowo, KORNAS menyampaikan ide tersebut kepada AHY sebagai figur pemimpin muda yang masih memiliki banyak waktu untuk belajar memimpin.
"Tidak ada presiden dan wakil presiden di Indonesia yang lahir dari proses kepemimpinan yang instan".
Maka sangat tidak mungkin bagi AHY untuk menjadi Cawapres 2024. Atau meskipun tetap memaksakan diri maju sebagai Cawapres mendampingi Anis, pasangan ini dipastikan akan kalah.
[Penulis adalah Presidium Kongres Rakyat Nasional atau yang sering disebut KORNAS]