Jacob Ereste | Foto: Dok. Pribadi |
Penulis: Jacob Ereste
Banten, 26 Januari 2023
Jalan spiritual itu sungguh indah dan menawan. Begitu langkah mulai menjejak keasyikan menikmati panorama yang tak pernah terbayangkan menghampar sepanjang jalan spiritual itu.
Cara termudah yang sudah dilakukan oleh setiap orang, tidak berlanjut lantaran penghayatan keindahan itu tak kasat mata. Demikian tutur penyair sufi yang memulainya lewat do'a dan rasa syukur atas nikmat yang telah dia nikmati selama ini.
Saat berdo'a, ujarnya sesungguhnya seseorang itu telah mulai melangkah di jalan spiritual menuju rumah Tuhan.
Karena apapun agama dari yang bersangkutan, maknanya yang pertama adalah pengakuan tentang keberadaan Yang Maha Kuasa itu.
Sebab do'a yang dilafaskan itu -- apa pun juga jenis dan model permintaan yang diharapkan -- adalah pengakuan terhadap eksistensi Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Begitulah hakikat dari makna yang Rachman dan yang Rachim itu. Atau ungkapan tentang cinta dan kasih maupun dalam pemahaman ungkapan yang lain.
Ikhwal do'a itu sendiri ketika dihayati dengan serius dan sepenuh hati, bersitan dari do'a yang dilafaskan itu pasti adanya bukan untuk makhluk yang ada di bumi.
Jika pun do'a itu ditujukan kepada para Nabi dan Wali, itu sekedar semacam surat tembusannya semata.
Karena tujuan utama dari do'a itu kepada Yang Maha Tinggi, atau Yang Maha Kuasa, atau Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana seperti simbolika dari 99 Azma'ul Husna.
Demikian juga ketika mengucap syukur, sesungguhnya syukur yang dilafaskan itu untuk siapa ?.
Artinya, ketika ucapan do'a dan rasa syukur itu diungkapkan -- meski hanya dalam bisikan hati sendiri -- jika serius disadari dan hendak dihayati essensinya adalah semacam langkah awal menapak di jalan lorong spiritual dengan penuh keheningan dan rasa damai yang menenteramkan hati.
Selanjutnya tinggal bagaimana menata hasrat berikutnya untuk melanjutkan perjalan yang maha dakhsyat itu dengan kecerahan cahaya yang harmoni yang menyejukkan hati.
Itulah sebabnya, kata sang penyair kita tadi itu, jalan spiritual itu -- atau laku spiritual -- sesungguhnya sangat mengasyikkan.
Hingga pada saatnya, disambut oleh sapaan dan dialog hingga canda bersama sang Khaliq, tanpa pernah bisa didengar dan tidak pula perlu diketahui oleh orang lain.
Dalam khazanah pustaka jagat raya ini, segera dipahami juga apa yang dimaksud dari ayat-ayat diri, seperti yang acap diungkapkan oleh Wali Spiritual Indonesia, Sri Eko Sriyanto Galgendu, kata penyair kitab itu mengingatkan.
Hingga akhirnya penulis pun semakin yakin dan percaya bahwa setiap tubuh manusia itu terdiri dari ayat-ayat buana yang mampu dibaca oleh mereka yang memiliki kemampuan linuih.
Dan ayar-ayat diri, ayat -ayat buana bisa ditilik dari bisikan hati, lenguhan jantung, deru suara darah yang mengalir tak henti, sebelum mati.
Lalu pada puncak kehidupan yang indah dan penuh misteri inilah kematian berlangsung. Lantas, kemana perginya ruh yang acap juga kita sebut nyawa itu ?.
Andai perjalan hidup manusia itu dapat dipahami sebagai laku spiritualitas yang utuh, sungguhkah batas kehidupan itu adalah kematian ?.
Setidaknya, dari pertanyaan yang penuh misteri ini, membuktikan kepongahan akal manusia sungguh terbatas.
Baca Juga: Parpol Rasa Relawan
Maka itu tak heran, pengakuan jujur seorang akademisi terhadap daya jangkau spiritual jauh melampaui daya intelektual.
Karena itu, laku spiritual itu mempersyaratkan kerendahan hati. Tidak bisa sombong. Apalagi tamak dan rakus seperti pejabat di negeri entah berantah yang tamak dan rakus itu. Mereka membangun budaya korupsi, tanpa rasa risi.
Kendati mereka sangat paham dan mahfum, rakyat yang akan memikul dera dan derita oleh ulah perbuatan mereka. Karena itu pun mereka acap disebut raja tega.
Pada persilangan budaya seperti inilah, gerakan kesadaran dan pemahaman spiritual menjadi pilihan utama yang penting untuk mengobati penyakit kronis di negeri entah berantah itu.
Yang pasti, diagnosa dari penyakit parah itu tidak bisa menggunakan resep politik, pun bukan resep ekonomi bahkan tidak sepenuhnya budaya dan agama.
Baca Juga: Merindukan Pahlawan Baru
Lantaran, ramuan antara budaya dan agama -- yang bisa disebut spiritual -- semacam racikan ampuh obat yang pernah diwariskan oleh para leluhur suku bangsa Nusantara.
Hari ini, boleh saja resep yang ampuh ini berjenan dipakai oleh bangsa Indonesia agar bisa kembali waras.
Dan dalam seloroh kawan penyair sufi kita tadi, inilah resep yang mampu dia berikan, semacam mantra yang selalu dia nyanyikan dari lubuk hatinya.
Demikianlah mantra sang penyair sufi sebagai alternatif resep penyembuh penyakit kronis jagat kita hari ini. Karena wabahnya sudah ke mana-mana dan dimana-mana. [Selesai]