Ade S Maulana, salah satu wartawan di Jawa Timur | Foto: Grup WhatsApp |
Penulis: Ade S Maulana (Wartawan Jatim)
Surabaya, 05 Februari 2022.
Berangkat dari penilaian hasil liputan kami sekitar bulan November 2022 lalu, menunjukkan bahwa untuk menjadi wartawan tak semudah yang dibayangkan.
Meliput kejadian, memakai ID card, menulis hasil liputan, melaporkan dalam bentuk berita.
Faktanya, menulis berita tidak semudah seperti dibayangkan. Mengarang, merangkai kata dengan semaunya, asal saja menempatkan kata, ternyata bukan begitu.
Fakta kedua, profesi wartawan tak seindah yang dibayangkan. Lebih banyak direndahkan, dicibir, dan dihina. Dan belakangan fakta yang kedua ini ada sebabnya.
Nila setitik rusak susu sebelanga. Akibat ulah oknum negatif profesi dicap buruk. Semua kena getahnya.
Fakta ketiga, profesi wartawan itu membuat kita sering mendapat ancaman, kekerasan dan sasaran kemarahan preman. Belum lagi dibenturkan sesama seprofesi yang menjadi dalang, back up di suatu tempat yang dianggap melanggar hukum.
Tidak jarang, ada kabar menyebutkan wartawan ada yang masuk penjara. Lalu ada yang mati terbunuh. Ada wartawan yang biasanya memberitakan, kemudian diberitakan.
Akibatnya, ada oknum yang mengcounter berita hingga membuat bingung pembaca. Ada beberapa fakta pula, soal tipologi wartawan.
Melihat dari fakta-fakta tersebut, akhirnya ditemukan tipologi dan model wartawan. Berangkat dari bagaimana perusahaan persnya, bagaimana rekrutmen sumberdaya wartawan, bagaimana motivasi, dan bagaimana kesejahteraannya juga membedakan topologi wartawan.
Baca Juga: GMRI dan Posko Negarawan Ingin Menghadirkan Perawat Bangsa dan Negara Agar Tak Menjadi Puing Sejarah
Taruhlah, bicara soal standart minimal. Perusahaan berbadan hukum, memiliki aktivitas susunan direksi dan redaksi, tapi menempatkan kriteria sumberdaya wartawan itu lulusan SMA. Bahkan STM dan SMK direkrut ada juga yang dibawah itu.
Setelah perusahaan pers jenis ini didirikan, ada terbit ID Card, seragam, dan surat tugas. Namun, rekrutmennya berbeda. Hanya menerapkan target pendapatan.
Pemasukan iklan, kerjasama dengan tokoh desa, kabupaten hingga sampai diskominfo, semua ditawari iklan.
Tapi si wartawan tadi tidak memiliki kemampuan menulis, yang terjadi adalah nebeng teman.
Mereka bergerombol, mengutamakan speaking, rayuan. Begitu uang di tangan, giliran pemberitaan, amburadul. Tidak ada kaidah sama sekali.
Tipologi lain, kadang menyuruh orang menuliskan laporan. Diunggah di medianya hanya bentuk foto dan laporan cerita. Semua disampaikan tapi tidak ada kemasan. Itulah kategori wartawan pertama.
Kategori wartawan selanjutnya, berbekal ID Card, percaya diri ikut polisi ke sana ke mari, berbekal kamera, lalu setiap harinya hanya melaporkan foto disertai caption.
Selanjutnya ada yang bergabung dengan organisasi mana pun, ikut menagih utang, ikut menengahi dan menangani kasus (makelar), ikut mendukung salah satu calon dari partai politik, ikut melaporkan korupsi, ikut mengadukan perselingkuhan dan banyak lagi.
Nah, kategori ini juga terus tumbuh karena orang tidak lagi menanyakan mana korannya, mana hasil beritanya, masyarakat tidak ngecek lagi hasil karyanya.
Kebebasan berpendapat dan berekspresi dijadikan modal semakin larut dan enjoy menjadi wartawan tapi karya tidak standar, dan mementingkan eksen atau ikut ke sana ke mari dalam kelompok kritis.
Tipologi ini ada juga yang bertahan. Yang justru mereka ini eksis hingga sampai sekarang. Karena mereka bisa ahli merayu narasumber untuk mengeluarkan uang transport.
Mayoritas mereka ini tidak digaji. Jika ada iklan maka dia potong 50 persen, 50 disetor ke perusahaan. Kadang 100 persen diambil. Giliran ditagih, bilang tidak ada uang.
Hanya datang acara seremoni karena dipastikan ada uang bensin dan uang promo diambil. Ada peresmian gedung, mall, rumah sakit, peluncuran produk, dan lain sebagainya.
Berbau promosi, didatangi. Uang promonya diambil sebagai ongkos lelah dan bensin. Itulah potret wartawan dalam kategori lain.
Sehingga profesi yang didengungkan sebagai pejuang, pembela kebenaran, keadilan, penjaga dan pilar bangsa, pilar demokrasi, mencerdaskan kehidupan bangsa, membuat rakyat pintar, dan membuat aparat tegak dan adil apa mungkin karena sumbangsih wartawan kategori di atas tadi.
Pembaca sudah bisa menyimpulkan sendiri. Bagi penulis dengan menyajikan tipologi lain dari wartawan yang dianggap negatif itu, pembaca bisa mencari tahu sebenarnya wartawan sesungguhnya itu seperti apa.
Ada yang menyebut, perusahaan persnya bermodal besar, mampu menggaji karyawan dan wartawan. Memiliki SOP berita dan arah pemberitaan.
Memegang teguh SOP dan regulasi UU Pokok Pers. Mencerdaskan kehidupan bangsa dengan kualitas SDM penulis di atas rata-rata. Lulusan S-1, S-2 dan peraih IPK 3,0 jika lulusan S-1.
Jika lulusan DIII minimal, IPK 3,8. Kemudian jenjang satu tahun, sudah harus meneruskan kuliah S-1 sambil bekerja. Mendapat gaji UMK, UMR dan di atas standart perusahaan di daerah.
Tidak boleh menulis berita iklan, advertise, dan mengeksekusinya. Divisi telah dibagi perusahaan.
Di tangani profesional, wartawan hanya akan menulis ketidakadilan, membela kebenaran, mengungkap kejahatan, menguak korupsi, membongkar praktik persekongkolan kejahatan, dan memberitakan apa adanya.
Tulisannya, tidak hanya bisa dibaca orang kelas bawah, tapi juga kelas atas. Bahasa dan struktur kalimatnya memiliki karakteristik tersendiri.
Menguasai regulasi, menguasai semua bidang tulisan. Model, tipe, karakter, dan bentuk tulisan atau laporan hasil liputan.
Tidak pernah kles fisik dengan narasumber atau korban pemukulan polisi dan pendemo. Pintar menempatkan diri dan memposisikan diri di lapangan.
Jam kerjanya biasanya lebih panjang. Karena bagi wartawan betulan ini, bahwa profesi wartawan adalah bak panggilan nurani.
Setiap ada ketidakadilan dia suarakan agar terjadi keseimbangan. Setiap ada kejahatan ditutupi selalu dia ungkap.
Namun, seiring waktu, dan perkembangan zaman, profesi ini dikangkangi. Dijadikan sarana mencari uang. Dan dipadukan dengan jual beli di pasar.
Jika dibeli baru dilayani. Kategori ini bukanlah zona nyaman tapi menodai nurani profesi. Memang sulit, tapi profesi ini adalah panggilan hati.
Pantas saja banyak mereka yang memiliki kartu pers tak bisa menghargai karya tulis. Bahkan, belum tentu juga wartawan atau jurnalis yang secara terus menerus membuat karya tulis.
Itu sebuah risiko pekerjaan sebagai wartawan, katanya wartawan yang melakukan peliputan dilindungi undang-undang, tapi faktanya?.
Keluar masuk organisasi pers, sebuah proses mencari ilmu hingga meyakinkan mendapat perlindungan bagi dirinya, bagi segelintir dari mereka yang memiliki idealisme yang tinggi.
Kali ini saya lebih memilih untuk belajar, belajar bagi saya adalah sebuah jawaban. Sebagai regenerasi sepakat memilih organiasi Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT) sebagai tempat dan wadah menjawab keresahan yang saya rasakan.
Di komunitas ini terlihat, begitu antusias mereka saling mengeluarkan unek-unek yang menceritakan pengalamannya yang negatif.
Bahkan ada bagi pemula seperti saya. Ilmu ini saya dapat hanya di Komunitas Jurnalis Jawa Timur, sesungguhnya banyak para pemegang kartu pers tidak berfungsi sebagai pencari informasi untuk diolah mejadi berita.
Pengalaman sebagian dari mereka menyandang gelar wartawan hanya sebagai identitas belajar, lalu menggunakan Kartu Pers untuk kepentingan dirinya sendiri. Bukan sebagai tanda kewenangan melakukan kegiatan jurnalistik.
Kami di sini mendapat wawasan, ternyata di KJJT ini banyak ilmu yang dapat diserap. Ada ucapan kalimat yang saya dengar dari salah satu petinggi komunitas ini, yang memilih belajar adalah pemilik masa depan, yang tidak memilih belajar adalah pemilik masa lalu.
Bagi saya ilmu mahal, namun di komunitas ini gratis, mereka yang kita anggap senior selalu memperhatikan kekurangan kami. Khususnya tentang keilmuan tentang jurnalistik ditambah mempersatukan setiap orang yang menyandang gelar profesi wartawan.
Kita sadari memang, namun itu nyatanya. Tidak mudah mempersatukan mereka, tapi dengan belajar saya merasa kita bisa bersatu selama saling menghargai dan menghormati satu sama lain.
Saya hanya berdoa, semoga ini sebuah jawaban keresahan rekan-rekan seprofesi seperti saya. [Selesai]
[Penulis adalah salah satu wartawan di Jawa Timur]