Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun Lhokseumawe | Foto: ist |
Aceh Utara, INDOSATU.ID - Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang memberi peluang cukup besar bagi perkembangan perekonomian Aceh belum ada realisasi dan masih belum terlihat adanya perubahan.
Mengapa kalangan pebisnis dan konglomerat Aceh belum beradaptasi terhadap peluang tersebut.
Arah pembangunan ekonomi Aceh ke depan dinilai masih belum jelas. Masih belum bisa diprediksikan.
Belum terlihat misalnya, Pemerintah Aceh dalam upaya membangun ekonomi daerah telah membentuk suatu kemitraan antara pemerintah daerah dengan sector swasta dalam pengelolaan dan menggali potensi sumberdaya alam yang melimpah di Aceh.
Asnawi H Ali, salah seorang pemerhati ekonomi dan industri saat bincang-bincang dengan media ini di Lhokseumawe, Minggu (5/3/2023) mengatakan, ya, masih minim inisiatif inisiatif yang berasal dari Pemerintah Aceh dan pelaku usaha dalam proses untuk merangsang peningkatan kegiatan ekonomi.
"Yang terlihat, Pemerintah Aceh dari tahun ke tahun baru sebatas mengurus dan terpaku kepada pengeloaan dana APBA," ujar Asnawi.
"Padahal dalam era perdagangan bebas dewasa ini, dimana arus modal akan begitu mudah berpindah dari suatu daerah ke daerah lain, bahkan dari suatu negara ke negara lain, Pemerintah Aceh sejauh ini sepertinya belum tertarik kepada aliran modal tersebut," sambungnya.
Menurut Asnawi yang sekarang menjabat Sekretaris DPC APDESI (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) Aceh Utara dan mantan Direktur Eksekutif Kadin (Kamar Dagang Industri) Aceh Utara, bahwa Pemerintah Aceh sepertinya belum terpikir bagaimana aliran modal ini dapat bermanfaat.
"Mungkin di sini lah peran pemerintah, khususnya mereka yang diberikan kepercayaan, yaitu perangkat SKPD terkait," tuturnya.
"Aliran modal akan masuk ke daerah-daerah yang memiliki potensi dan memberikan keuntungan terhadap pemiliknya. Bagaimana pergerakan modal ini dapat dimanfaatkan untuk mendukung perkembangan ekonomi daerah adalah menjadi pekerjaan SKPD terkait," jelasnya.
"Sebenarnya banyak langkah bisa dilakukan untuk menciptakan suatu kondisi supaya aliran modal masuk ke Aceh. Menciptakan peluang dan iklim kondusif menjadi kata kuncinya," lanjutnya.
"Cuma dalam hal ini, mampukah Pemerintah Aceh sekarang untuk mengembalikan iklim kondusif yang menjadi penentu masuknya investasi ke Aceh," sebut Asnawi.
Lebih lanjut Asnawi menjelaskan, peluang dapat muncul manakala ada upaya untuk menciptakannya. Kendati mendapat kendala dalam menciptakan kondisi ini dapat dipecahkan bersama.
Di satu sisi, upaya menarik modal dari luar daerah atau luar negeri dengan optimalisasi pemberian berbagai kemudahan, fasilitas dan dukungan.
"Namun di sisi yang lain, potensi-potensi yang mampu menarik aliran modal luar tidak begitu mudah dilakukan, karena tidak saling dukung dan tidak saling bersinergis. Kuncinya di situ," papar Asnawi.
"Menarik investasi domestik dan luar negeri menjadi pilihan bagi Aceh ketika kecenderungan keterbatasan dana untuk pembangunan. Agar investasi itu datang, kita dituntut untuk memperbaiki tata kelola pengelolaan unit yang bertanggung jawab terhadap keberadaan serta kedatangan investor," jelasnya lagi.
"Termasuk melakukan inventarisasi akan potensi lokal yang bersifat khas untuk dijual kepada investor luar daerah atau luar negeri," kata Asnawi.
Baca Juga: Ini Profil Yesias Petrus Boeboe, Peraih Best District Operation Head IOH Tingkat Nasional
Mengutip analisa SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat), pemanfaatan sumber daya alam dan manusia harus dapat bersinergi untuk memperoleh manfaat yang maksimal.
Sejauh ini Pemerintah Aceh sepertinya masih tertinggal jauh dibanding daerah lain dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang penanaman modal dan fungsinya.
Hal ini dinilai karena belum berjalannya kebijakan tekhnis di bidang penanaman modal, perumusan rencana pengembangan dan penetapan program kerja.
Baca Juga: FBTPI KPBI Pusat Dari Partai Buruh Siap Bantu Mantan Buruh PT BIG Guna Mendapatkan Keadilan
Begitu juga terhadap koordinasi pelaksanaan kebijakan teknis, pemberian bimbingan, pembinaan dan pengawasan di bidang penanaman modal, pengelolaan data dan informasi di bidang penanaman modal termasuk fasilitasi pola kemitraan dan pengembangan kelembagaan penanaman modal.
Dijelaskan pula, padahal Aceh pernah mendapat prestasi ketika dibangun Zona
Industri Lhokseumawe (ZIL).
Seharusnya menjadi pembelajaran berharga dalam melaksanakan tata kelola pengembangan dan pembinaan penanaman modal asing.
Untuk diketahui, ketika proyek proyek raksasa beroperasi di Lhokseumawe dan Aceh Utara, perekonomian Aceh mengalami masa-masa yang mengagumkan dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata diatas provinsi lain.
Namun sayang dan sangat disesalkan, ketika suara gemuruh berbagai industri raksasa di Lhokseumawe dan Aceh Utara selama puluhan tahun tidak melahirkan industri industri kecil lainnya.
Padahal peredaran uang di Lhokseumawe saat itu begitu tinggi yang ditandai hadirnya puluhan bank mengalahkan Banda Aceh.
Kedepan, dalam upaya mendatangkan kembali investor asing masuk ke Aceh perlu dilakukan inovasi dan perubahan paradigma pemikiran mengenai potensi sumber daya alam daerah sebagai magnetnya.
"Barangkali semakin ramainya bisnis kuliner, semakin banyaknya show room, dealer mobil, sepeda motor, counter HP dan usaha lain, merupakan bagian dari multiplier effect economy sambil menunggu kehadiran industri skala menengah dan besar lainnya di Aceh," urai Asnawi.
Untuk proses ke arah tersebut, lanjutnya, perlu menuntut para pelaku ekonomi dan pelaku politik di Aceh untuk segera memperbaiki komitmen serta kinerjanya dalam merealisasikan cita-cita tersebut.
Sekali lagi, kunci keberhasilan terletak dan didukung oleh iklim politik yang stabil dan kondusif.
Mungkin untuk sistem perijinan investasi sudah ditangani secara sentralistis dan integrated, sehingga sekaligus telah mengurangi rantai birokrasi yang berlebihan.
Namun tuntutan politis dari banyak lembaga swadaya masyarakat menjadi kendala tersendiri yang telah ikut mengganggu kalangan pebisnis di Aceh.
Menurut Asnawi, kalangan pebisnis dan investor ingin masuk ke Aceh, namun mereka masih menaruh sangsi terhadap iklim berusaha yang belum kondusif.
Pengusaha-pengusaha luar yang ingin melakukan ekspansi usahanya di segala lini usaha masih harus menunggu.
"Saatnya Pemerintah Aceh di bawah Pj (Penjabat_red) Gubernur Bapak Achmad Marzuki, kita meminta untuk bisa merubah iklim usaha yang kondusif untuk dunia usaha dan para calon investor. Tentu Pemerintah Aceh sekarang ini harus segera membatasi kalangan peminta-minta yang menjurus kepada pengancaman," kata Asnawi lagi.
"Pengusaha dan calon investor di manapun menuntut kenyamanan, keamanan dan kepastian berusaha dari proses penanaman modalnya di Aceh," tandas Asnawi.
Dijelaskan pula, momentum percepatan investasi seperti yang terjadi di berbagai provinsi lain perlu dipelajari dan ditiru, sehingga pada akhirnya dapat tercipta lapangan kerja yang lebih banyak dan bermanfaat untuk masyarakat yang lebih luas.
Kondisi kehidupan perekonomian dan tatanan masyarakat yang adil, sejahtera dan bermertabat merupakan harapan semua rakyat Aceh. Harapan yang mereka dambakan adalah kapankah lapangan kerja di sekitar mereka dapat tersedia.
Tidak ada cara yang lebih baik ketika pemerintah Aceh sekarang ini memberikan pelayanan yang terbaik kepada rakyatnya, memangkas birokrasi, mengurangi beban-beban usaha, menciptakan iklim investasi dan usaha serta mempersiapkan putra-putri Aceh untuk dapat berpartisipasi dalam proses kegiatan investasi.
Dengan cara demikian, maka pemerintah Aceh telah memberikan warisan terbaik kepada generasi penerus melalui penciptaan lapangan usaha lapangan kerja yang lebih luas.
Pada dasarnya, kesejahteraan harus diukur dengan tingkat pengangguran, pertanyaannya, akankah dalam masa 2 tahun ke depan di bawah Pj Gubernur sekarang ini, tingkat pengangguran di Aceh akan berkurang?.
Mudah-mudahan, dengan adanya pabrik NPK PT PIM saat ini sudah berproduksi dan akan diikuti industri-industri lainnya yang sedang dijajaki Pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun, demikian disampaikan Asnawi.
Pewarta: Usman Cut Raja
Editor: Lian