-->
  • Jelajahi

    Copyright © Media Indosatu - Menuju Indonesia Maju
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Melacak Kemiskinan di Aceh, Pemimpin dan Rakyat Berkongsi Sama Malas

    Redaksi
    09 Maret 2023, 19:07 WIB Last Updated 2023-03-09T12:07:06Z
    Banner IDwebhost

    Tampak masyarakat berebut bantuan yang sedang dibagikan | Foto: ilustrasi


    Lhokseumawe, INDOSATU.ID - Kemiskinan yang menerpa sebahagian penduduk di Aceh belakangan ini tidak selamanya berhubungan dengan takdir. Kemiskinan bisa juga terjadi karena malas atau tidak mau bekerja.

    Fakta menunjukkan bahwa negara-negara yang kini menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan ekonomi adalah negara yang penduduknya dikenal sebagai pekerja keras.

    Baca Juga: Muhammad Ardi Lubis Guru Ngaji Hidup Digubuk Reok, Uba Pasaribu Jembatani Bantuan

    Timbul pertanyaan, kenapa orang Aceh yang disebut-sebut sebagai taat beragama, kemiskinan dan keterbelakangan masih menjadi pemandangan sehari-hari?.

    Berikut pendapat salah seorang pemerhati sosial, ekonomi dan agama, Tgk Lukman, S.Sos., saat ditemui, Rabu (8/3/2023) di Lhokseumawe.

    Menurut Tgk Lukman yang dikenal unggul dalam setiap pencarahan menjelaskan, persoalan kemiskinan di Aceh sebenarnya sangat kompleks. Kemiskinan di Aceh tidak hanya terkait dengan persoalan sosial ekonomi semata, tetapi juga sosial budaya.

    Baca Juga: Mimpi 16 Tahun Pemekaran Kabupaten Batu Bara Bakal Terwujud

    Dimensi sosial budaya serta perilaku masyarakat terhadap problem kemiskinan inilah yang menyebabkan orang Aceh tertinggal. Dalam konteks ini, kemiskinan di Aceh telah menjadi persoalan yang rumit, karena hal ini menyangkut mentalitas masyarakat Aceh.

    Celakanya lanjut Tgk Lukman, orang Aceh sejak dulu dikenal sebagai ‘orang pemalas’. Mulanya anggapan ini melekat pada komunitas bangsa Melayu atau Nusantara pada umumnya.

    Kini ketika peradaban Melayu sudah terbagi ke dalam beberapa negara dan bangsa, seperti Malaysia, Indonesia, Brunei dan Singapura. Hanya sebahagian bangsa Indonesia dan Aceh saja yang tetap lengket dengan label bangsa pemalas.

    Baca Juga: Tolak Penggusuran, Warga Desa Sena Kabupaten Deli Serdang Adakan Dzikir Akbar

    Malaysia dan Singapura, umpamanya, kini sudah menjadi negara maju. Orang Melayu di negara jiran tersebut sudah menjadi bagian dari masyarakat dan peradaban modern. Jika merujuk ke doktrin dasar, sebenarnya agama Islamlah yang menyuruh memerangi kemiskinan supaya masyarakatnya tidak terjebak pada kekufuran.

    Sebab jika suatu masyarakat larut dalam kemungkaran, kekufuran akan perintah agama, maka tunggulah datangnya kehancuran. Doktrin agama mengajarkan usaha dan kerja keras.

    Baca Juga: Ketika Suara Rakyat Diabaikan, Hanya Kutukan dan Azab Yang Akan Segera Datang

    "Agama kita mengajarkan agar kita menghargai waktu, bahkan Tuhan pun bersumpah dengan waktu, ‘Demi masa/waktu’ sebagaimana yang sering kita ucapkan dalam setiap menjalankan ibadah shalat," jelasnya.

    "Hidup dengan etos kerja yang rendah alias pemalas adalah hidup yang kurang layak dijalani. Negara-negara maju di utara dikenal sebagai bangsa yang masyarakatnya suka kerja keras. Sekalipun dianggap sebagai bangsa non-muslim, akan tetapi kinerja mereka dalam menjalani hidup keseharian lebih islami dibandingkan bangsa Muslim atau masyarakat Islam itu sendiri," jelasnya lagi.


    Tgk Lukman, S.Sos., pemerhati sosial, ekonomi dan agama.

    Lebih jauh Tgk Lukman menguraikan, Islam sebagai agama yang dipeluk semua orang Aceh, Islam sebenarnya menawarkan konsep paripurna mengenai cara mengatasi kemiskinan.

    Selain terus menganjurkan kerja keras, aktualisasi konsep zakat, infak, sedekah merupakan perwujudan ajaran agama yang diyakini mampu mengatasi kemiskinan dalam masyarakat.

    Baca Juga: Konsulat Malaysia Untuk Pekanbaru Kunker ke Kabupaten Indragiri Hulu

    Hanya saja hingga kini konsep-konsep tersebut tidak pernah diaplikasikan secara konsisten dan konsekuen oleh orang Aceh sendiri. Dalam konteks ini, umat Islam di Aceh masih kalah serius dibandingkan umat agama lain.

    Persoalannya, bukan lagi pada tataran norma kehidupan, melainkan tingkat kesadaran masyarakat kita yang masih rendah atas manfaat zakat, infak, sedakah.

    "Ajaran Islam terhadap wajib zakat adalah untuk mengatasi problem sosial umat. Jika kondisinya sudah begini, jangan-jangan masalah dasarnya sudah sedemikian kronis, bahwa kepedulian sosial orang Aceh memang sudah berada pada titik nadir. Mudah-mudahan tidak sampai kesana," tutur Tgk Lukman.

    Baca Juga: Singgah Karna Hujan, Habis Berteduh Jangan Lupa Ucapkan Terimakasih

    Lebih lanjut Tgk Lukman menjelaskan, Orang Aceh pada umumnya, selain bukan sebagai pekerja keras, masyarakat dan pemimpinnya juga cenderung berkongsi pada keadaan tersebut. Di sinilah akar persoalannya yang mengakibatkan absennya kreativitas dan rendahnya produktivitas.

    "Aduh, sedih bila kita mendengar kalau kemiskinan bahkan diterima sebagai takdir," Papar Tgk Lukman.

    Beda memang dengan warga di sebagian besar negara maju. Mereka tidak menyerah pada alam, sekalipun alam bagi mereka sesuatu yang penuh resiko. Mereka menjadikan alam sebagai tantangan.

    Baca Juga: Hebat, Walaupun Keluarga Miskin, 3 Mahasiswa Ini Kuliah Sendiri Hingga S3

    Jepang misalnya, dikenal sebagai negara bangsa dengan pelbagai keterbatasan sumber daya alam. Tidak itu saja, bahkan Jepang juga negara yang rawan bencana alam.

    Badai, topan, tsunami dan musim dingin tidak lagi sekadar mengancam, akan tetapi sudah menjadi tontonan keseharian masyarakat di negara itu. Namun kenyataan alam itu pula yang justru menjadi tantangan dan pemicu tersendiri bagi rakyat negeri sakura itu untuk maju.

    Baca Juga: Dipenjara Karena Mencuri Kayu Demi Beli Beras, BLC Siap Bela Jasmin di Persidangan

    Selain tak mau menyerah pada alam, orang Jepang terkenal kreatif, inovatif, produktif dan pekerja keras. Saat ini Jepang masih tetap sebagai raksasa ekonomi dunia setelah Amerika Serikat. Pendapatan per kapita rakyatnya termasuk paling tinggi di dunia.

    Isu Pengentasan Kemiskinan Calon Pemimpin Aceh

    Kemiskinan selalu menjadi isu seksi buat para calon pemimpin di Aceh. Janji untuk memberantas kemiskinan sudah menjadi tren dalam upaya menarik dukungan rakyat. Program pengentasan kemiskinan selalu menjadi topic dalam janji politik para calon
    Misalnya, janji politik saat pilkada. Di antaranya akan memperbaiki tata kelola Pemerintahan Aceh yang amanah demi menjaga perdamaian yang abadi.

    Baca Juga: Food Estate Humbahas Dinilai Gagal, LBP: Butuh Proses, Tak Bisa Seperti Main Sulap

    Para Calon juga berjanji menjadikan Aceh sebagai daerah maju layaknya Brunei Darussalam. Janji lainnya, meningkatkan kesejahteraan dengan memberdayakan ekonomi rakyat melalui pendidikan, pertanian, kelautan. Bahkan gratis naik haji dan mendapat santunan Rp 1 juta per KK setiap bulan.

    "Tolong diingat, semua janji ini pada saatnya akan ditagih oleh rakyat. Rakyat juga akan mengawal semua yang dijanjikan sang pemimpin terpilih nantinya. Mudah mudahan bukan janji palsu dan bohong," sebut Tgk Lukman.

    Baca Juga: Sariana Hasibuan Tidak Dapat Bantuan PKH Padahal Kehidupannya Kurang Mampu

    Bagaimanapun, secara moral lanjutnya janji itu mestilah ditunaikan dan dipertanggungjawabkan kepada publik. Juga kepada Sang Pencipta Allah SWT yang dari Arasy-Nya mencatat semua janji itu.

    "Mari sama sama merenungkannya," pungkas Tgk Lukman.

    Penulis berita: Usman Cut Raja
    Editor: Admin

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    close
    Banner iklan disini