-->
  • Jelajahi

    Copyright © Media Indosatu - Menuju Indonesia Maju
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Pendapat Hukum Pada Kasus PT RPR Dengan Warga Singkuang di Madina Sumut

    Redaksi
    01 April 2023, 01:37 WIB Last Updated 2023-03-31T21:59:40Z
    Banner IDwebhost

    Adv. Ronald Nasution, SH | Foto: ist


    Penulis: Adv. Ronald Nasution, SH
    Medan, 30 Maret 2023

    Prinsip pengelolaan dan pemanfaatan terhadap bumi dan kekayaan alam Indonesia haruslah ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Maka dari itu pengelolaan dan penguasaan tanah dan air diatur ketat dalam UUD 1945 dan juga Undang-Undang serta aturan-aturan turunan lainnya. 

    Negara selaku pengelola dari kekayaan alam Indonesia menjadi satu-satunya pihak yang memiliki kewenangan untuk mendistribusikan pengelolaan kekayaan alam tersebut.

    Apakah akan dikelola langsung oleh instansi dan badan-badan usaha milik negara atau didistribusikan kepada pihak lain, baik pihak swasta ataupun warga negara perorangan yang memang memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk mengelola sumber daya alam tersebut.


    Keseluruhan dari praktek distribusi pengelolaan kekayaan alam tersebut harus dan hanya memiliki satu tujuan, yaitu untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

    Lalu bagaimana praktek dari distribusi pengelolaan itu, apakah sudah terjadi keseimbangan antara pengelolaan oleh pemodal swasta dan warga negara perorangan dalam hal ini petani penduduk setempat yang memang menggantungkan kehidupan dan ekonomi keluarganya dari hasil bumi lewat cara berkebun atau petani.

    Sejatinya pihak pemodal swasta yang mendapatkan ijin untuk mengelola tanah milik negara untuk menjadi perkebunan tidak bisa lepas dari tanggung jawab untuk mendistribusikan hak pengelolaan tanh tersebut kepada petani. 


    Sebagai wujud dari usaha pencapaian kesejahteraan bersama bukan hanya mengeruk keuntungan sepihak dan meninggalkan petani dan penduduk setempat dalam kemiskinan akut. Semangat inilah yang diatur pemerintah dalam UU Perkebunan dan Permentan No 26 tahun 2007.

    Mengapa ada kewajiban penyertaan petani dalam pengelolaan HGU (Hak Guna Usaha)?, karena hanya dengan cara itulah praktek distribusi manfaat tanah dan kebun dapat dibagi kepada penduduk setempat yang sejatinya merupakan stake holder paling berhak untuk menjadi pihak yang mendapatkan ijin mengelola tanah tersebut.

    Praktek pemberian HGU kepada pemodal swasta yang datang dari luar sejatinya sudah mempersempit, bahkan boleh dikatakan mematikan sebagian besar hak dari petani dan kelompok tani untuk mengelola tana yang mereka diami dan tunggui selama puluhan bahkan mungkin ratusan tahun secara turun temurun.


    Apa yang terjadi di Desa Singkuang dapat dikatakan sebagai gambaran kecil bagaimana distribusi kekayaan negara dalam hal ini tanah dan ijin pengelolaannya yang dikeluarkan lewat HGU ternyata selama belasan tahun tidak membawa manfaat apa-apa bagi petani dan kelompok-kelompok tani di Desa Singkuang.

    PT Rendi Permata Raya yang sudah berdiri selama 14 tahun di Desa Singkuang, yang artinya sudah selama 14 tahun juga PT Rendi Permata Raya mengelola HGU di kawasan Desa Singkuang.

    Selama 14 tahun tersebut pula PT Rendi Permata Raya sudah mengeruk keuntungan dari usaha perkebunan yang dioperasikan di atas lahan HGU di kawasan Desa Singkuang tersebut.


    Sebagai perusahaan perkebunan sawit dengan ijin pengelolaan HGU, tentu saja PT Rendi Permata Raya tidak terlepas dari kewajiban untuk mengeluarkan sebagian dari hak pengelolaan HGU-nya untuk dikelola oleh petani dan kelompok tani dari penduduk Desa Singkuang dalam bentuk kebun plasma.

    Pembangunan kebun plasma ini juga menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari PT Rendi Permata Raya yang tidak boleh dibantah dan dielakkan. Penolakan pembangunan kebun plasma yang diperuntukan bagi petani dan kelompok tani di Desa Singkuang bukan hanya melanggar ketentuan Permentan, namun juga dapat diduga menjadi sebuah tindak kejahatan yang dilakukan secara terencana.

    Penolakan perusahaan perkebunan pengelola ijin HGU untuk membangun kebun plasma bukan hanya menimbulkan hilangnya kesempatan bagi petani dan kelompok tani dari warga setempat untuk mengelola kebun, tapi juga merupakan tindakan perampasan dari kekayaan negara dan pemiskinan terhadap warga masyarakat setempat yang merupakan stake holder langsung dari tanah yang dikelola HGU-nya tersebut.


    Mirisnya, PT Rendi Permata Raya yang sudah beroperasi selama 14 tahun mengelola HGU di Desa Singkuang ternyata sampai saat ini belum merealisasikan kewajibannya untuk membangun kebun plasma bagi masyarakat petani dan kelompok tani di Desa Singkuang sesuai tuntutan dari Permentan Nomor 26 Tahun 2007 angka 11.

    Dalam Permentan tersebut, perusahaan perkebunan pengelola ijin Hak Guna Usaha dikenai kewajiban untuk membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan.

    Apa Yang Terjadi di Lapangan?

    PT Rendi Permata Raya telah nyata-nyata dengan arogan menolak untuk melaksanakan kewajibannya tersebut. Dengan cara menolak untuk membangun kebun plasma bagi masyarakat petani dan kelompok tani dari masyarakat Desa Singkuang sekitarnya.


    Tindakan penolakan dan arogansi dari PT Rendi Permata Raya ini adalah karakter buruk dari modal swasta yang hanya mau mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari usaha yang dilakukan, tapi menolak untuk mendistribusikan manfaat pengelolaan lahan tersebut bagi peningkatan kesejahteraan dari petani dan masyarakat sekitar lahan HGU yang berkesempatan untuk bertani dan berkebunnnya sudah dirampas oleh perusahaan tersebut.

    Terhadap permasalahan di atas, maka tindakan dari warga masyarakat Desa Singkuang yang menggugat dan mengadukan PT Rendi Permata Raya tersebut ke Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Madina, Komisi Pengawas Persaingan Usaha hingga DPRD Madina, merupakan langkah yang tepat dan harus mendapat dukungan dari seluruh pihak di Kabupaten Madina, khususnya dan umumnya seluruh elemen pemerhati keadilan dan kesejahteraan bagi petani yang menjadi korban dari kesewenang-wenangan pengusaha perkebunan.

    Apabila PT Rendi Permata Raya tetap menolak untuk melaksanakan kewajibannya membangun kebun plasma minimal 20 persen dari total HGU-nya, maka sudah sangat layak pemerintah mengambil sikap tegas untuk mencabut ijin operasional perusahaan tersebut dan mencabut HGU-nya dari Desa Singkuang.


    Pasalnya, tindakan perusahaan yang hanya mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari kekayaan alam negara tanpa komitmen untuk mendistribusikan keuntungan yang diperoleh kepada masyarakat sekitar adalah tindakan pengkhianatan terhadap tujuan kemerdekaan Republik Indonesia tercinta ini.

    Kehadiran perusahaan yang mengeruk keuntungan dan menguras kekayaan alam tanpa membawa manfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat sudah sangat layak dimusnahkan dari bumi Indonesia raya ini.

    Bagaimana Tanggapan Pemerintah dan Instansi Terkait?

    Sebagaimana kita ketahui warga Desa Singkuang sudah melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan yang dilakukan PT Rendi Permata Raya ini. Sekitar 371 Petani Plasma Singkuang melakukan unjuk rasa ke Pemkab Madina, menggugat lemahnya Pemkab ketika berhadapan dengan pengusaha seperti PT Rendi Permata Raya ini.


    Seolah Pemkab tiba-tiba menjadi impoten dan tidak dapat menekan pengusaha untuk melaksanakan kewajibanya, menyediakan dan membangun kebun plasma bagi petani dan kelompok tani di Desa Singkuang.

    Kecurigaan bahwa Pemkab sudah impoten dan 'masuk angin' karena proses gugatan warga terhadap PT Rendi Permata Raya ini sudah beberapa kali difasilitasi oleh Pemkab Madina. Namun berulang kali pertemuan tersebut tidak ada hasil yang terwujud, karena perusahaan tidak memberikan kepastian tentang kapan dan bagaimana mereka akan menunaikan kewajibannya kepada masyarakat.

    Yang lebih buruk lagi, Pemkab Madina tidak punya nyali dan ketegasan untuk menindak PT Rendi Permata Raya. Pemkab Madina maupun Bupati Madina dianggap tidak tegas dalam memberikan sanksi dan hukuman terhadap PT Rendi Permata Raya yang mengelola 3,741 Ha lahan HGU sejak 2005.


    Masyarakat sudah terlalu lama diam dan sabar dalam menghadapi kesewenang-wenangan perusahaan tersebut tentu tidak bisa selamanya diam dan membiarkan apa yang menjadi hak mereka dirampas begitu saja.

    DPRD Kabupaten Madina dan Pemkab Madina seharusnya menjaga marwahnya di depan pengusaha. Karena PT Rendi Permata Raya sudah terikat komitment dengan Pemkab dalam bentuk MOU untuk merealisasikan kebun plasma tersebut.

    Tapi sampai saat ini realisasi dari MOU tersebut belum diimplementasikan. Selayaknya Pemkab dan DPRD yang lebih dulu merasa tertampar karena MOU telah dikangkangi.


    Sudah seharusnya menindak perusahaan tersebut dengan minimal penghentian sementara operasional perusahaan sampai perusahaan menyelesaikan tanggung jawab pembangunan kebun plasma yang sudah belasan tahun mereka abaikan.

    Bila hal tersebut tidak dilakukan juga, maka sudah selayaknya ijin operasional dan ijin HGU PT Rendi Permata Raya dicabut sepenuhnya.
    Bila Pemerintah Kabupaten dan DPRD tetap dalam sikap gamang seperti ini, maka patut diduga arogansi perusahaan ini terjadi karena mereka sudah berhasil menundukkan pemerintah selaku pemangku kebijakan.

    Eskalasi gugatan layak ditempuh oleh petani masyarakat Desa Singkuang kepada lembaga politik yang lebih tinggi baik di tingkat provinsi maupun ke pemerintahan pusat. [Selesai]

    [Penulis merupakan salah satu putra daerah yang juga berprofesi sebagai advokat di Kota Medan]
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    close
    Banner iklan disini