JGP ketika diamankan aparat berwenang | Foto: fb |
Penulis: Sutrisno Pangaribuan
Medan, 23 Mei 2023
Belum lama berselang pasca JGP mantan Menkominfo, Sekjend DPP Partai Nasdem ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan oleh Kejagung, muncul sejumlah serangan kepada Presiden Joko Widodo.
Willy Aditya (WA), politisi Nasdem menuduh adanya politisasi aparat penegak hukum, intimidasi, kesemena-menaan aparat penegak hukum melakukan politisasi hukum. Lebih jauh WA menyebut adanya operasi penangkapan orang-orang tertentu akibat presiden saat ini adalah 'petugas partai', bukan pelayan rakyat.
Surya Paloh (SP), Ketum DPP Partai Nasdem menyatakan kesedihan atas peristiwa yang dialami JGP. Penahanan JGP dengan tangan diborgol dalam kapasitas sebagai menteri, sekjen partai terlalu mahal.
SP juga menyinggung intervensi politik dan kekuasaan. Bahkan kasus korupsi pembangunan menara BTS 4G dan infrastruktur pendukug BAKTI Kominfo disebut bisa berdampak pada upaya partainya mencalonkan Anies Rasyid Baswedan (ARB) sebagai Capres.
ARB sendiri langsung mendatangi SP di Nasdem Tower dan menyatakan adanya suasana keprihatinan yang luar biasa atas 'cobaan' yang datang. Namun ARB menyebut bahwa SP merupakan sosok yang konsisten, persisten dan berpegang teguh pada prinsip meski menghadapi cobaan yang besar.
ARB bahkan menyebut bahwa Tuhan, Allah SWT akan berpihak kepada kebenaran. Peristiwa tersebut dianggap sebagai ujian, tantangan yang harus dihadapi oleh SP dan NasDem atas sikap, pilihannya mengusung dirinya (ARB) sebagai Capres.
Baca Juga: Indosat dan GSMA Berkolaborasi Dalam Program Digitalisasi Konservasi Mangrove di Kalimantan Utara
Amin Rais (AR), Ketua Majelis Syura Partai Ummat, tidak mau ketinggalan untuk ikut bereaksi. AR bahkan memperingatkan SP untuk tidak tinggal diam. AR meminta agar SP melakukan 'serangan balik', tegak dan tegas berdiri serta tak bermental lembek, sebab memiliki peran yang besar.
AR menyebut bahwa kasus tersebut bisa menjadi berkah terselubung atau 'blessing in disguise' buat bangsa Indonesia. AR menyatakan bahwa kasus korupsi JGP menjadi gerbang lebar untuk membongkar kasus korupsi di lingkaran orang-orang Jokowi.
Bahkan AR meminta agar SP segera menggelar konferensi pers untuk saling membongkar dari dua kubu yang sebelumnya sekutu, kemudian menjadi seteru.
AR menyebut perpisahan SP dengan Jokowi karena SP mendapat hidayah, sementara Jokowi masih bertahan dengan Dholalah, yakni kesesatan ekonomi dan kesesatan politik.
Kongres Rakyat Nasional (Kornas) sebagai rekan juang politik Jokowi sejak 2014, dan melanjutkan perjuangan politik dengan Ganjar Pranowo di Pilpres 2024 menyampaikan sikap sebagai berikut:
Pertama, bahwa tuduhan adanya politisasi hukum, intimidasi, dan kesemena-menaan aparat penegak hukum, serta penangkapan orang-orang tertentu merupakan tuduhan serius dan tentu memiliki konsekuensi hukum.
Maka WA, politisi NasDem harus dapat membuktikan tuduhannya agar tidak menjadi bola liar yang justru dapat menciptakan kegaduhan menjelang Pemilu 2024. Jika terjadi kegaduhan politik dan hukum akibat tuduhan ini, maka WA harus bertanggung jawab.
Kedua, bahwa pernyataan terjadinya politisasi hukum sebagai akibat dari presiden saat ini adalah petugas partai, bukan pelayan rakyat adalah pernyataan yang merendahkan Presiden Jokowi. Pernyataan petugas partai yang sering digunakan Megawati Soekarnoputri kepada Presiden Jokowi dalam kegiatan yang bersifat internal PDIP dan tidak dimaksud untuk menghina dan merendahkan Presiden Jokowi.
Reaksi emosional yang ditunjukkan WA dan NasDem atas penahanan JGP dengan tangan diborgol, justru menunjukkan posisi JGP sebagai petugas partai NasDem, bukan pelayan rakyat. Sebab hingga saat ini, hanya NasDem yang bereaksi, marah atas penahanan JGP, bukan rakyat.
Ketiga, bahwa tuduhan kasus korupsi JGP sebagai intervensi politik dan kekuasaan adalah seperti senjata makan tuan, NasDem seperti sedang menunjuk diri sendiri. Tuduhan yang didasari prasangka atau justru berdasarkan pengalaman saat Kejagung dipimpin oleh HM Prasetyo, politisi NasDem.
Jika Kejagung dapat dipakai sebagai alat intervensi kekuasaan dan politik, seperti tuduhan tersebut, maka selama 5 (lima) tahun, HM Prasetyo dan NasDem diduga telah banyak melakukan intervensi politik dan kekuasaan.
Keempat, bahwa upaya menjadikan politisasi hukum justru dilakukan oleh elit NasDem. Jika ada tuduhan politisasi hukum, intervensi politik dan kekuasaan pada kasus korupsi yang melibatkan JGP, maka seharusnya JGP dibantu oleh tim hukum NasDem melakukan upaya hukum berupa praperadilan.
Baca Juga: Ganjar Pranowo, Capres Tanpa Bandar Politik
Jika NasDem terus membangun narasi politisi hukum, namun tidak melakukan upaya hukum praperadilan, maka justru pelaku politisasi hukum adalah kubu JGP, dan NasDem sendiri.
Kelima, bahwa berdasarkan azas praduga tak bersalah, tersangka JGP memiliki hak untuk melakukan pembelaan dirinya, maka seharusnya NasDem serius membantu JGP dengan menyediakan penasihat hukum terbaik yang memiliki rekam jejak yang dapat memenangkan perkara kasus korupsi. NasDem lebih baik serius menyediakan penasihat hukum yang mampu membebaskan JGP dari seluruh sangkaan yang dibuat Kejagung.
Keenam, bahwa Pemilu 2024 seharusnya menjadi pesta demokrasi yang menghadirkan kegembiraan. Maka seluruh peserta Pemilu, baik Parpol, Paslon, maupun perseorangan peserta Pemilu harus menghentikan seluruh narasi kebencian, permusuhan, provokasi, penghinaan terhadap siapapun. Jika narasi- narasi kebencian tetap disampaikan, maka Kornas pun dengan terpaksa akan melakukan langkah hukum.
Baca Juga: Mengejutkan, Striker Andalan Klub Sepakbola Liga Belanda Ini Minat Gabung Timnas Indonesia
Kornas meminta agar penanganan kasus korupsi tersangka JGP di Kementerian Kominfo ditangani Kejagung secara transparan, terbuka, dan terang benderang. Semua pihak yang terlibat dalam kasus mega korupsi yang mencuri hak rakyat harus diseret ke meja hijau. Kornas percaya dan mendukung sepenuhnya Kejagung.
Kornas juga akan mengawal Presiden Jokowi hingga akhir periode kepemimpinannya (20/10/2024). Jika ada pihak-pihak yang mencoba menciptakan kegaduhan, kebencian terhadap sesama anak bangsa, maka Kornas siap menghadapinya.
Bagi Kornas, semua pihak yang menciptakan kedamaian, selalu berjuang demi keutuhan Indonesia adalah sekutu. Sedangkan pihak yang selalu menciptakan perpecahan, permusuhan, kebencian adalah seteru, lawan!
[Penulis adalah Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas)]