Roy Marsen Simarmata | Foto: dok pribadi |
Penulis: Roy Marsen Simarmata
Medan, 10 Juni 2023
Pada 14 Februari 2024, Indonesia akan menggelar pemilihan umum secara serentak di semua provinsi untuk memilih pemimpinnya selama 5 tahun ke depan. Baik memilih Presiden, DPD maupun DPR RI hingga DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dalam menjalankan pemilu yang berintegritas pemerintah melalui Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu telah melakukan berbagai upaya seperti melibatkan masyarakat secara partisipatif dalam memberikan masukan maupun tanggapan. Hal tersebut tentunya tak lain untuk menjaga nilai-nilai pemilu yang langsung, bebas, jujur dan adil.
Pada saat ini Penyelenggara Pemilu telah melaksanakan berbagai tahapan seperti pendaftaran partai politik, calon anggota DPD, Calon anggota DPR/D bahkan telah menyusun daftar pemilih sementara. Penyelenggara pemilu dan peserta pemilu tentunya memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk patuh terhadap Undang-undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Namun yang tak kalah penting dalam setiap hajatan pemilu yakni adanya serangan fajar yang dalam bentuk uang maupun barang. Serangan fajar tersebut disebarkan oleh peserta pemilu kepada masyarakat yang memiliki hak pilih yang tujuannya untuk mempengaruhi memilih salah satu calon tertentu. Tindakan demikian merupakan suatu upaya yang bertolak belakang dari substansi penyelenggaran pemilu.
Baca Juga: Politik Tanpa Identitas itu Uka-uka
Direktur Riset Lembaga Survei Charta Politika, Muslimin menyebut praktik politik uang berupa ‘serangan fajar’ selalu terjadi di setiap pemilu. Umumnya para calon legislatif di daerah-daerah tersebut melakukan modus ‘serangan fajar’ dengan dalih mengganti ongkos pergi ke TPS pada hari pencoblosan untuk mengunci suara. Namun memang menurut Muslimin, tidak semudah itu dalih demikian bisa mendulang suara bagi para calon legislatif curang yang berasal dari hampir semua partai politik peserta pemilu.
Namun jika melihat dari nominal yang diberikan para calon legislatif tersebut faktanya tidaklah sangat berdampak banyak bagi masyarakat bahkan tidak merubah apa-apa terhadap perekonomiannya. Selain menciderai asas-asas pemilu yakni LUBER dan Demokratis, serangan fajar tersebut juga sering menyebabkan orang yang pantas untuk duduk menjadi anggota legislatif menjadi pupus.
Hal tersebut tentunya menjadi tantangan bangsa ini ke depan khususnya kepada pemerintah maupun penyelenggara pemilu agar senantiasa mengantisipasi dan menindak pelaku serangan fajar. Terlebih lagi pasca covid 19 yang membuat kondisi perekonomian masyarakat saat ini sedang merosot sehingga memungkinkan bagi para calon legislatif menebar serangan fajar tersebut kepada masyarakat.
Namun sikap masyarakat yang menerima serangan fajar tersebut juga tidak lain dianggap sebagai sikap krisis kepercayan kepada calon legislatif yang hanya menebar janji-janji tanpa bukti. minimnya loyalitas partai politik kepada masyarakat dan sikap partai yang hanya mementingkan diri sendiri tentunya menjadi alasan kenapa masyarakat menerima serangan fajar tersebut.
Memilih para calon legislatif demikian tentunya tidak akan mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada kesejahteraan rakyat. Bahwa kelak pemimpin tersebut akan cendrung korup untuk mengembalikan modalnya dalam pencalegkan dan tak akan segan-segan menggadaikan seisi tanah air ini.
Kebiasaan menebar dan menerima serangan fajar tentunya akan menyebabkan peningkatan ekonomi menjadi lambat karena ekonomi tidak akan dapat meningkat jika tidak didukung oleh pemimpin yang bersih. Jika meminjam pernyataan seorang guru besar ekonomi di Indonesia yang secara berkelakar mengatakan bahwa “pelajaran ekonomi mengajarkan kerakusan”.
Kelakar atau tidak pernyataan tersebut mengandung suatu inti yang penting yang menggambarkan perilaku dasar kita dalam berekonomi. Mengamankan dan mengaminkan serangan fajar tentunya akan menggeser makna dari demokrasi menjadi bisnis dan permainan yang pada akhirnya derajat demokrasi kita yakni dari, oleh untuk rakyat telah tergadaikan.
Praktik demokrasi yang demikian tak akan murni lagi menjalankan urusan rakyat karena ia akan menjalankan dua hal sekaligus yakni sebagian urusan rakyat dan sebagian lagi bisnis.
Sehingga dalam situasi demikian sebagai anggota legislatif akan lebih mementingkan fasilitas bisnis ketimbang berusaha meringan pengertian rakyat. Dari sisi demikian, kita bangsa Indonesia jelas mengalami tantangan yang berat, apakah ingin bersebrangan dengan praktik itu atau melawan.
Maka pemerintah maupun penyelenggara pemilu juga tidak boleh hanya berkonsentrasi pada hal-hal yang teknis dan mengenyampingkan posisinya dari wacana moral yang cendrung menjalankan pemilu secara formal ketimbang pemilu secara substansial.
(Penulis adalah Advokat Publik di Bakumsu)