-->
  • Jelajahi

    Copyright © Media Indosatu - Menuju Indonesia Maju
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Babak Akhir Relawan Politik

    Redaksi
    31 Juli 2023, 09:30 WIB Last Updated 2023-07-31T02:30:00Z
    Banner IDwebhost

    Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas) Sutrisno Pangaribuan | Foto: istimewa

    Penulis: Sutrisno Pangaribuan
    Medan, 26 Juli 2023

    Meski telah diberi posisi menteri, relawan Pro Jokowi (Projo) masih terus melakukan manuver politik. Posisi menteri, yang kini bahkan setara dengan pimpinan parpol, tidak serta merta membuat Projo diam.

    Projo justru makin besar kepala dengan terus menjadi penyambung lidah Jokowi. Adalah Panel Barus, Ketua Bapilpres Projo, menyampaikan klaimnya tentang arah dukungan politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) cenderung ke bacapres Partai Gerindra Prabowo Subianto.

    Baca Juga: [OPINI] Dominasi Pemilih Muda dan Media Sosial Jelang Pemilu 2024

    Sementara itu, sejumlah deklarator Projo dari berbagai provinsi di Pulau Jawa mendeklarasikan dukungan kepada Ganjar Pranowo (Ganjar) termasuk di Kota Malang.

    Deklarasi tersebut juga dilakukan dalam rangka menyikapi ketidakjelasan arah dukungan organisasi Projo dalam menghadapi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Sejumlah deklarator yang hadir di antaranya Agung Suryo dari Jawa Barat, Bambang Suprapto dari Jawa Tengah, serta Budianto Tarigan dan deklarator Projo lainnya dari DKI Jakarta.

    Fenomena Relawan Bukan Hal Baru

    Keterlibatan relawan dalam perebutan kekuasaan politik bukan hal baru di Indonesia. Sejak pra kemerdekaan relawan selalu terlibat dalam perjuangan politik, baik secara terbuka maupun tertutup, baik angkat senjata, maupun dengan ujung pena.

    Namun relawan; lebih tepat: sukarelawan memiliki syarat utama dan mutlak: sukarela. Relawan digerakkan oleh nilai dan dipandu oleh etis moral, bukan karena kepentingan jangka pendek yang oportunis dan pragmatis.

    Sementara di belahan dunia lain, sukarelawan juga terlibat dalam perebutan kekuasaan politik. Relawan mengorganisasikan dirinya secara mandiri, dengan biaya sendiri maupun dukungan publik.

    Baca Juga: [OPINI] Pentingnya Sosialisasi Aturan Pemilu 2024 Bagi Masyarakat Kota dan Desa

    Kelompok aspirasi politik non partai tersebut bergerak bebas untuk menggalang partisipasi publik, tanpa dikomando parpol. Para kelompok relawan tersebut fokus pada tujuan perkenalan dan sosialisasi calon.

    Mereka tidak sibuk melakukan manuver politik seperti parpol. Mereka juga akan akan membubarkan diri setelah pemilihan berakhir, sebab relawan hanya aktivitas politik adhoc, bukan pekerjaan.

    Baca Juga: Dampak Serangan Fajar Dalam Pemilu

    Menjelang akhir orde baru, fenomena relawan kembali hadir, hingga meledak pada peristiwa perebutan kantor DPP PDI, Sabtu kelabu (27/7/1996). Para relawan pro demokrasi, pendukung Megawati Soekarnoputri diserang oknum aparat dan preman bayaran.

    Banyak sukarelawan meregang nyawa, sebagian lagi hilang dan hingga kini tak kunjung pulang. Namun para sukarelawan tersebut bergerak bukan karena ambisi merebut kursi, sekedar berebut remah-remah kekuasaan berupa komisaris, tujuannya hanya satu; perubahan.

    Ingin Mengulang Sukses 2014

    Sejak PDIP mengangkat wong deso, Jokowi, dari Walikota Solo ke Jakarta, kelompok relawan pun kembali menjamur. Kelompok relawan bergotong-royong mendorong PDIP mengusung Jokowi, Gubernur DKI Jakarta yang masih bekerja seumur jagung untuk maju di Pilpres 2014.

    Setelah PDIP memutuskan mengusung Jokowi sebagai capres, relawan mengklaim bahwa keputusan PDIP tersebut akibat tekanan relawan. Sehingga, setelah Jokowi memenangi pilpres, para relawan pun akhirnya diganjar kursi, dari staf ahli, deputi, hingga komisaris.

    Masuk 2019, relawan tumbuh, seperti jamur di musim hujan. Namun sebaliknya, antusiasme dan partisipasi rakyat menurun, sebab Jokowi sudah dikepung para bandar sebagai tim pemenangan. Relawan pun tidak lagi leluasa, karena Jokowi sendiri lebih memilih dikawal para pengusaha.

    Baca Juga: Mahasiswa di Medan Desak Polisi Tuntaskan Kasus Kematian Mahasiswa USU

    Puncaknya saat Jokowi menang, menteri dilantik, para relawan tidak banyak dapat kursi menteri. Bahkan capres lawan Jokowi, Prabowo yang justru jadi menteri, sehingga Projo ancam akan bubarkan diri. Ancaman Projo pun disahuti Jokowi, Budi Arie Setiadi pun langsung jadi wakil menteri.

    Projo batal bubar, manuver politik baru pun dimulai dengan gerakan setia hingga akhir dan tegak lurus terhadap Jokowi. Atas nama rakyat, ide sesatpun dimulai, mendukung Jokowi sekali lagi: tiga periode Jokowi.

    Manuver Projo terus berlanjut melalui musyawarah rakyat, musra. Kelompok relawan yang dimotori Projo, dan Bara JP, menggelar pertemuan mewah di hotel dan gedung megah di berbagai kota. Namun diluar perkiraan, sebelum musra usai, PDIP tiba-tiba umumkan Ganjar Pranowo sebagai bacapres, Jumat (21/4/2023).

    Baca Juga: Wanita Ini Marah di Facebook Karena Tidak Ada Yang Menonton Live-nya

    Sukses 2014 tidak lagi mampu diulang kelompok relawan. Namun, relawan tidak mau kehilangan muka, musra akhirnya ditutup dengan rekomendasi tiga nama, yakni: Prabowo, Airlangga, dan Ganjar.

    Kecolongan di Pemilu 2014, memaksa PDIP ubah strategi, tidak mau lagi didikte relawan. PDIP kerja cepat dengan membentuk wadah berhimpun relawan Ganjar.

    Bahkan PDIP meniru KPU, melakukan verifikasi administrasi dan faktual berjenjang, terhadap para relawan. Akhirnya para relawan Ganjar yang jumlahnya kini seribuan pun tertib, dikanalisasi agar tidak liar ke sana ke mari melakukan manuver politik.

    Baca Juga: Baliho Terpampang, Rayu Pendukung Jokowi

    Relawan Jokowi versi musra pun tetap tidak mau kalah, mereka terus bermanuver menyerupai gaya parpol. Merasa tidak mendapat ruang di kubu Ganjar, elit kelompok musra kini mulai mesra dengan Prabowo, bacapres yang diklaim direstui Jokowi.

    Semua upaya cari perhatian dilakukan, namun kubu PDIP sepertinya tidak ambil pusing. PDIP kini mengendalikan semua aktivitas politik Ganjar, di ibukota maupun di daerah.

    Menebak Kebutuhan Rakyat

    Pesta demokrasi Pemilu 2024 akan digelar 205 hari lagi dari saat ini. Namun dinamika politik masih sibuk membahas kulit dan bentuk, bukan tentang isi. Pertengkaran politik tidak menyentuh substansi, masih sekitar mitra koalisi.

    Dari pertemuan tidak berisi, hingga kegiatan menonton pertandingan voli. Kelompok relawan sibuk deklarasi, atau dampingi bacapres blusukan kesana kemari.

    Kongres Rakyat Nasional (Kornas) sebagai wadah berhimpun dan berjuang rakyat dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia menyampaikan sikap dan
    pandangan sebagai berikut:

    Baca Juga: Transaksi Politik Busuk Revisi UU Desa

    Pertama, bahwa era kebangkitan dan keterlibatan relawan secara partisipatif telah berakhir. Relawan saat ini bukan lagi wadah berhimpun rakyat murni yang digerakkan oleh nilai dan dipandu oleh etis moral. Relawan saat ini tidak lebih dari kumpulan aktivis politik yang identik dengan parpol. Tujuannya ingin terlihat dan terlibat dalam perebutan kekuasaan.

    Kedua, bahwa pertengkaran politik Indonesia kosong dan kering dari ide, gagasan, dan program politik karena para aktivis hanya mampu bermimpi untuk merebut remah-remah kekuasaan. Para aktivis kini pragmatis dan oportunis sehingga hanya mampu menjadi tim sukses dengan membentuk wadah relawan.

    Tidak ada bacapres yang berlatar belakang aktivis, demikian juga dengan kepala daerah. Tidak banyak aktivis yang berani membentuk dan mendirikan parpol, hanya mampu melahirkan wadah relawan. Akibatnya tidak ada aktivis yang menjadi aktor dalam perbutan kekuasaan.

    Ketiga, bahwa dinamika politik Indonesia saat ini diisi oleh elit politik yang hanya berjuang untuk kepentingan kekuasaan diri sendiri dan kelompok politik masing-masing. Pembahasan Kebutuhan dan kepentingan rakyat sama sekali tidak penting.

    Baca Juga: Sawah Kakung Magelang: Perpaduan Keindahan Alam dan Agrowisata Penopang Kemandirian Pangan

    Sehingga partisipasi politik warga akhirnya digerakkan oleh kepentingan pragmatis dan oportunis dengan pemberian hadiah atau janji, baik berupa uang, sembako, atau bentuk lainnya.

    Keempat, bahwa rencana bacapres mengusung tema "keberlanjutan dan kesinambungan" atau tema lain "perubahan dan perbaikan" sama sekali tidak menarik bagi rakyat. Rakyat membutuhkan "sesuatu yang baru" yang tidak sekedar simetris atau asimetris dengan program Jokowi.

    Ketergantungan bacapres akan pengaruh Jokowi, baik yang pro maupun yang kontra membuat rakyat tidak bergairah. Rakyat butuh sosok pemimpin yang menjadi diri sendiri, lepas dari pengaruh dan bayang-bayang orang lain.

    Kelima, bahwa kemenangan dalam pertarungan politik di pilpres 2024 akan ditentukan oleh koalisi bersama rakyat (koalisi besar). Koalisi besar bukan dengan jumlah parpol yang banyak apalagi gerombolan relawan.

    Baca Juga: Tembak Mati Para Begal

    Sehingga bacapres saatnya menyampaikan ide, gagasan, dan program politiknya. Rakyat sebagai pemilik suara membutuhkan tawaran konkrit dari bacapres tentang Indonesia masa depan.

    Bagi Kornas, Pemilu 2024 sebagai pesta demokrasi rakyat harus menyuguhkan pertengkaran politik yang kaya akan ide, gagasan dan program politik. Sehingga rakyat akan berpartisipasi aktif secara sadar, kritis, dan mandiri.

    Dalam menentukan pilihannya, rakyat akan digerakkan oleh nilai, dipandu oleh etis moral. Bukan karena diberi hadiah atau janji, serta dibeli dengan uang dan sembako.


    [Penulis adalah Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas)]
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    close
    Banner iklan disini