Cari Muka Parpol Jelang Pemilu 2024, Memalukan! |
Penulis: Sutrisno Pangaribuan
Medan, 3 Juli 2023
Beberapa waktu yang lalu, sejumlah kepala desa (kades) di Pulau Madura, Jawa Timur, menyatakan akan menghabisi suara partai politik (parpol) di pemilu 2024 yang menolak penambahan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun.
"Suara Parpol di pemilu 2024 nanti yang tidak mendukung masa jabatan kades jadi 9 tahun akan kami habisi," kata Farid Afandi, kades Tentenan Timur, Larangan, Pamekasan, Madura, Jumat (20/1/2023).
Farid mengklaim seluruh kades di Madura yang terlibat aksi demonstrasi di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta sekitar 800 kades. Menurut Farid dari jumlah tersebut memberi pesan bahwa di Pemilu 2024 nanti kades punya pengaruh besar terhadap suara dan keberadaan parpol dalam meraih suara pemilih di desa.
Baca Juga: Fatwa Haram Politik Uang
Revisi UU Desa Jadi Super Prioritas
Ancaman para kades tersebut berbuah cepat, disambut lagu setuju dari paduan suara DPR RI. Meski tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas), kini badan legislasi (baleg) DPR RI mulai membahas revisi UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa. Selain perubahan masa jabatan yang semula 6 tahun diubah menjadi 9 tahun, DPR juga menawarkan hadiah menjelang Pemilu 2024 berupa penambahan besaran dana desa dari 1 miliar rupiah menjadi 2 miliar rupiah.
Senada dengan DPR, Komisaris BUMN PTPN V, Budiman Sudjatmiko mengklaim Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah menyetujui perpanjangan masa jabatan kades. Hal tersebut disampaikan Budiman setelah bertemu Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta pada Selasa (17/1/2023).
Budiman menjelaskan alasan konflik di desa selalu terjadi pasca pikades. Sehingga butuh waktu dua hingga tiga tahun untuk pemulihan. Maka dibutuhkan tambahan waktu agar para kades dapat bekerja selama 6 tahun. Alasan konflik menjadi alasan tunggal Budiman mempengaruhi Jokowi hingga akhirnya setuju perubahan UU Desa.
Baca Juga: Dampak Serangan Fajar Dalam Pemilu
Parpol Merusak Pikades
Sejak Indonesia melaksanakan sistem Pemilu terbuka, maka rakyat terkadang penting bagi para politikus dan parpol. Semua parpol berlomba memperluas pengaruh dengan mempersiapkan calon-calon kades.
Parpol akhirnya tergoda ikut bertarung dalam perebutan jabatan kades. Ironisnya parpol justru menularkan berbagai penyakit buruk dalam pilkades. Terjadinya politik uang, eksploitasi ikatan- ikatan primordial menjadi kenyataan buruk pilkades pasca reformasi setelah dicampuri parpol.
Alokasi dana desa dalam APBN dianggap sebagai "jasa parpol", maka para kades "terpaksa" berfiliasi kepada Parpol, baik sebagai kader maupun simpatisan.
Demikian juga dengan berbagai persoalan hukum yang selalu muncul akibat lemahnya pemahaman dalam tata kelola anggaran dana desa. Para kades dan perangkat desa yang masih "amatir" sering mengalami persoalan hukum. Maka para kades memilih "berteman baik" agar mendapat "perlindungan dari parpol".
Baca Juga: Revisi UU Desa, Siapa Cari Muka?
Perpanjangan Masa Kerja Kades Sesat
Sebagai respon atas kesesatan berpikir parpol secara kolektif di DPR RI yang menawarkan solusi pragmatis dan oportunis tersebut, maka Kongres Rakyat Nasional (Kornas) sebagai wadah berhimpun dan berjuang rakyat dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut:
Pertama, bahwa sebelum sistem pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung, Indonesia telah melaksanakan pemilihan kepala desa (pikades) secara langsung.
Sebelum reformasi, meskipun ada konflik dalam proses pilkades, hal tersebut dianggap sebagai dinamika demokrasi. Tidak terjadi konflik berkepanjangan yang membutuhkan waktu untuk pemulihan.
Kedua, bahwa konflik dalam pilkades belakangan ini dipastikan sebagai akibat pengaruh buruk dari parpol yakni politik uang dan eksploitasi ikatan- ikatan primordial.
Sehingga untuk menghilangkan konflik berkepanjangan, parpol yang seharusnya dilarang terlibat dalam pikades baik langsung maupun tidak langsung.
Ketiga, bahwa semua rumpun kekuasaan eksekutif dibatasi selama dua periode berturut-turut maupun tidak. Masing-masing periode sama, yakni 5 tahun, mulai dari presiden, gubernur, bupati, dan walikota.
Maka kepala desa yang masuk rumpun kekuasaan eksekutif juga harus disamakan. Hal tersebut juga berkaitan dengan sistem terpadu perencanaan pembangunan dari tingkat pusat hingga desa. Sehingga ada keselarasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional, Daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) hingga Desa.
Keempat, bahwa penambahan masa jabatan kades dari 6 tahun menjadi 9 tahun sebagai cara mengatasi konflik pasca pilkades adalah sesat. Parpol sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas konflik pasca pilkades seharusnya menawarkan jalan keluar strategis, bukan pragmatis.
Akar persoalan konflik pasca pilkades adalah karena jabatan kepala desa saat ini memiliki kekuasaan dalam pengelolaan anggaran desa yang makin besar.
Para calon kades akhirnya menggunakan segala cara untuk merebut atau mempertahankan jabatan kades termasuk dengan politik uang dan eksploitasi ikatan-ikatan primordial.
Kelima, bahwa penambahan masa jabatan dan anggaran dana desa yang ditawarkan semua parpol di DPR RI melalui revisi UU Desa adalah solusi pragmatis dan oportunis.
Parpol terpaksa merebut simpati para kades pasca mendapat "ancaman dihabisi suaranya" oleh para kades terhadap parpol yang tidak mendukung perubahan masa jabatan kades dari 6 tahun menjadi 9 tahun.
Keenam, bahwa saat ini rakyat disuguhi akrobat politik "ancam-mengancam". Para kades mengancam parpol, kemudian parpol melalui 8 Fraksi DPR RI mengancam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI).
Praktik tata kelola pemerintahan kita semakin buruk akibat dinamikanya hanya terkait dengan kepentingan kekuasaan, bukan demi kebutuhan dan kepentingan rakyat.
Ketujuh, bahwa jika para kades mampu melakukan negosisasi politik pragmatis dan oportunis terhadap parpol dengan "ancaman dihabisi" di Pemilu 2024.
Maka rakyat juga akan melakukan negosiasi politik "ancaman menghabisi suara" semua parpol yang mendukung dan melakukan revisi UU Desa terkait penambahan masa jabatan kades dan penambahan dana desa.
Kedelapan, bahwa Kornas menolak negosiasi politik "cari muka" parpol kepada para kades melalui revisi UU Desa. Negara melalui pemerintah dan DPR seharusnya menawarkan gagasan radikal, salah satunya berupa pembangunan fasilitas sekolah calon kades melalaui perluasan fungsi Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN). Sehingga semua calon kepala desa terlebih dahulu dilatih dan dididik sebelum mengikuti pilkades.
Kesembilan, bahwa Kornas meyakini suara rakyat tidak akan berubah akibat tekanan politik dari kades, lurah, camat, bupati, walikota, gubernur, hingga presiden. Rakyat memiliki kedaulatan individu untuk menentukan kepada siapa dan parpol mana suaranya diberikan.
Ancaman para kades untuk "menghabisi" suara parpol justru harus dimaknai sebagai tindakan menghasut dan tindakan ingin mempengaruhi hasil pemilu. Maka seharusnya para kades yang menebar ancaman tersebut harus dijerat dengan pidana Pemilu, bukan diberi tambahan perpanjangan masa kerja dan dana desa.
Kesepuluh, bahwa Presiden Jokowi mendapat informasi yang tidak lengkap dan benar tentang alasan melakukan revisi UU Desa. Kornas meminta Presiden Jokowi untuk memerintahkan kementerian terkait menarik diri dari pembahasan revisi UU Desa.
Revisi UU Desa terutama pada pasal penambahan masa kerja kades dan anggaran dana desa hanya untuk kepentingan politik jangka pendek terkait Pemilu 2024.
Kornas konsisten mengajak semua kontestan Pemilu 2024 untuk bertengkar terkait ide, gagasan, dan program politik. Rakyat ingin menyaksikan "pertengkaran politik" yang berbobot, yang berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan rakyat.
Bukan sekedar perdebatan kering dan kosong yang hanya berkaitan dengan kepentingan pragmatis dan oportunis para politikus dan parpol. Jika revisi UU Desa tetap dilanjutkan sesuai kepentingan pragmatis dan oportunis menjelang Pemilu 2024, maka Kornas akan mengajukan judicial review ke MKRI.
[Penulis adalah Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas)]