Ilustrasi pelantikan pejabat daerah | Foto: HukumOnline |
Penulis: Sutrisno Pangaribuan
Medan, 5 Agustus 2023
Manuver Ali Mochtar Ngabalin (Ngabalin), Tenaga Ahli Utama (TAU) Kantor Staf Kepresidenan (KSP) membocorkan hasil sidang tim penilai akhir (TPA) terkait pengisian posisi Penjabat (Pj) Gubernur, akhirnya menghadirkan polemik.
Berbagai reaksi publik muncul karena untuk kesekian kalinya Ngabalin offside. Bertindak di luar batas kewenangannya sebagai pembantu Moeldoko, bukan pembantu Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ngabalin memposisikan diri sendiri seperti juru bicara Presiden Jokowi selaku ketua TPA. Ngabalin menjadi narasumber tunggal hasil sidang TPA yang diklaimnya telah memutuskan sepuluh (10) nama Pj Gubernur.
Sejak dibentuk sebagai lembaga yang setara dengan kementerian, publik belum mendapat informasi lengkap tentang fungsi Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Jika saat ini KSP dikenal dan dibahas publik, itu karena perebutan kekuasaan Partai Demokrat antara Moeldoko (Kepala KSP) dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Eksistensi KSP ada hanya karena pejabatnya sering dimintai pendapat atau diundang sebagai narasumber pada berbagai acara televisi. Ngabalin yang bukan juru bicara Presiden Jokowi maupun humas Istana Negara berjasa membuat KSP memiliki eksistensi. Selain itu, KSP yang tugasnya hanya koordinasi nyaris tidak bermanfaat.
Pernyataan Ngabalin Memicu Polemik
Jika ditelusuri semua berita yang beredar luas terkait hasil TPA, maka Ngabalin menjadi satu-satunya narasumber berita. Padahal berdasarkan metode Rudyard Kipling penulis berkebangsaan Inggris, sebuah berita seharusnya memenuhi unsur (5W+1H). Maka informasi tunggal yang dibocorkan oleh Ngabalin tidak seharusnya dijadikan berita (nasional).
Sebuah informasi juga harus diuji dengan "Cover Both Side", sebagai proses validasi sehingga berita tersebut lebih kuat. Berdasarkan hal tersebut, maka informasi yang dibocorkan Ngabalin tidak sesuai metode Kipling dan tidak "cover both side". Sehingga tidak dapat dijadikan rujukan oleh publik, meskipun telah beredar luas.
Baca Juga: CORE Pada Target Pertumbuhan Ekonomi
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa pasca KSP dipimpin oleh Moeldoko, terutama setelah Ngabalin direkrut sebagai TAU KSP, Ngabalin seiring bertindak seperti Jubir Presiden Jokowi. Media pers pun kerap menjadikan KSP sebagai narasumber terkait istana.
Padahal seluruh aktivitas Presiden di Istana Negara dikelola dan dikendalikan oleh Menteri Sekretaris Negara, Pratikno. Sehingga informasi terkait kegiatan dan produk kegiatan di Istana Negara sejatinya berada dibawah kendali dan koordinasi Pratikno, bukan Moeldoko, apalagi Ngabalin. Hanya informasi dari Pratikno dan Biro Pers Istana yang layak dijadikan sebagai informasi mewakili istana, bukan dari Moeldoko apalagi Ngabalin.
Warga Papua Meminta Pj Gubernur Papua OAP
Ngabalin sukses melakukan "test the water" dengan membocorkan hasil sidang TPA. Sejumlah perwakilan masyarakat Papua pun akhirnya bereaksi atas nama Pj Gubernur yang dibocorkan Ngabalin.
Reaksi berbagai kelompok masyarakat Papua sebagai sinyal awal bahwa kehendak rakyat Papua berbeda dengan yang dibocorkan Ngabalin. Sehingga jika nama yang dibocorkan Ngabalin tetap dilantik sebagai Pj Gubernur Papua, maka akan penolakan dari rakyat Papua.
Oleh karena itu, untuk menghindari gelombang reaksi rakyat yang lebih besar, maka diminta kepada Presiden Jokowi untuk meninjau kembali hasil sidang TPA yang dibocorkan Ngabalin.
Secara khusus bagi Pj Gubernur Papua, Presiden Jokowi diminta memutuskan dan menetapkan orang asli Papua (OAP) sebagai Pj Gubernur Provinsi Papua. Provinsi Papua harus disamakan dengan seluruh Provinsi di Tanah Papua yang saat ini juga dipimpin oleh Pj Gubernur OAP. Seluruh wilayah Papua harus dipandang, diperlakukan sama dan setara, serta tetap menjadi satu kesatuan yang utuh sebagai Papua.
Tunda Pelantikan 10 Pj Gubernur
Meski Koordinator Humas Setjen Kemenkumham Tubagus Erif Faturahman, pada Senin (4/9/2023) mengatakan bahwa Presiden Jokowi telah menunjuk 10 Pj Gubernur pengganti kepala daerah yang purna tugas per Selasa (5/9/2023). Dan akan dilantik pada Selasa (5/9/2023) di Kementerian Dalam Negeri, Kongres Rakyat Nasional (Kornas) meminta agar pelantikan DITUNDA dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, bahwa kebocoran hasil sidang TPA oleh Ngabalin telah memicu reaksi publik di Papua. Berbagai kelompok masyarakat protes terkait nama Pj. Gubernur yang dibocorkan Ngabalin. Masyarakat Papua menolak Pj Gubernur yang bukan OAP.
Kedua, bahwa syarat untuk menjadi Pj. Gubernur harus aparatur sipil negara (ASN), bukan pensiunan. Jika aparat TNI dan Polri (aparat negara non ASN), diangkat sebagai Pj Gubernur, maka terlebih dahulu harus alih status menjadi ASN dan saat diangkat sebagai Pj Gubernur harus sedang menempati posisi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Madya, yakni Eselon 1 pada kementerian/ lembaga atau pemerintah daerah.
Ketiga, bahwa aparat TNI dan Polri setelah menjadi ASN harus melewati proses seleksi terbuka pengisian JPT Madya pada kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, hingga dinyatakan lolos dan lulus, kemudian diputuskan, ditetapkan dan dilantik pada JPT Madya (Eselon I) tersebut.
Keempat, bahwa jika aparat TNI dan Polri (tanpa alih status menjadi ASN) diangkat langsung menjadi Pj Gubernur (meski bertentangan dengan UU ASN, UU TNI, UU Polri), maka aparat TNI dan Polri tersebut harus aktif (belum pensiun/ purnawirawan).
Aparat TNI dan Polri yang setara dengan JPT Madya pada ASN adalah Letnan Jenderal (TNI) dan Komisaris Jenderal (Polri). Aparat TNI dan Polri aktif berpangkat Jenderal bintang tiga (3).
Kelima, bahwa ASN yang bukan JPT Madya, dan aparat TNI dan Polri bukan bintang tiga (3), mut tidak memenuhi syarat untuk diangkat sebagai Pj Gubernur.
Keenam, bahwa aparat TNI dan Polri yang sudah purnawirawan dan belum alih status sebagai ASN sebelum Purnawirawan tidak dapat diangkat sebagai Pj Gubernur.
Ketujuh, bahwa ASN yang menyandang JPT Madya masih banyak, sehingga tidak perlu memaksa aparat TNI dan Polri untuk menjadi Pj Gubernur.
Kedelapan, bahwa kondisi sosial politik Indonesia saat ini kondusif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka tidak ada hal ikhwal kegentingan yang memaksa untuk mengangkat aparat TNI dan Polri sebagai Pj Gubernur.
Kesembilan, bahwa Pj Gubernur adalah jabatan pemimpin sipil dan disediakan untuk ASN, sehingga menjadi ASN adalah syarat mutlak. Maka meski dibenarkan alih status, seharusnya ASN dengan latar belakang TNI dan Polri tidak diizinkan sebagai Pj Gubernur (pemimpin sipil), sebab sebaliknya ASN tidak dapat diangkat dalam jabatan aparat TNI dan Polri.
Kesepuluh, bahwa pengangkatan aparat TNI dan Polri sebagai Pj Gubernur adalah reaktivasi dwifungsi TNI dan Polri (ABRI). Maka harus ditolak karena bertentangan dengan tuntutan dan cita-cita reformasi.
Kornas akan sebagai wadah berhimpun dan berjuang rakyat dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia sesuai dengan tuntutan reformasi.
[Penulis adalah Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas)]