Shela Rahmadhani | Foto: Koleksi Pribadi |
Oleh: Shela Rahmadhani, S. Pt
Pada saat masih duduk di kampus, perbincangan kedua publik figur (tokoh) Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo adalah perkara yang sering melintas di telinga.
Saat itu masih polos dan tidak tahu apa-apa, yang hanya ingin cepat lulus sehingga bisa berguna sebagaimana cita-cita umum mahasiswa yang belum bersinggungan dengan intrik, seluk beluk dan pertarungan dunia.
Namun, kuatnya personal branding dari kedua tokoh itu akhirnya lama-lama membuat saya lambat laun mengenal kedua tokoh tersebut. Yang paling jelas digaungkan adalah mereka alumni Universitas Gajah Madah (UGM) yang merupakan tempat saya belajar waktu itu dan juga figur.
Ya, civitas akademika UGM sangat membangga-banggakan kedua tokoh ini, terlebih setelah Pak Ganjar Pranowo menjabat sebagai warga Jawa Tengah, dan Pak Anies menjabat sebagai Menteri Pendidikan.
Setelah dua tahun meninggalkan kampus, perbincangan figur UGM ini sudah makin jauh dari telinga penulis. Siapa menyangka, karir politik Pak Ganjar dan Pak Anis terus merambah hingga kedua alumni UGM ini berjumpa pada kandidat Pilpres 2024.
Tentu hal ini menjadi sebuah benefit yang besar bagi UGM sendiri, utamanya dalam citra kampus yang diakui melahirkan pemimpin bangsa, politisi, ilmuan, dan relawan pembangunan masyarakat.
UGM memanen dua sekaligus kandidat capres, sedangkan universitas yang lain yang biasa menjadi saingan UGM bahkan nihil dalam masalah ini. Prosentase UI dan UGM misalnya dalam mengisi kabinet selalu dibanding-bandingkan, termasuk dalam hal jurnal penelitian ilmiah, dsb. Tentu dalam kasus Pilpres ini, isu kekampusan menurut penulis juga menjadi isu ikutan.
Terlebih jika kita melihat bentukan pemikiran UGM sangat melekat pada kedua kandidat, dimana kemampuan berargumentasi dan mengemban ideologi sangat terlihat dan hal tersebut adalah ciri dari pada UGM yang merupakan kampus pemikir.
Sekalipun berideologi sendiri dapat berpotensi benar dan salah tergantung ideologi yang diambil. Jauh lebih menarik ketika berbicara akan dirilisnya film tentang Pak Anies dan perjuangannya.
Figuritas Pak Anies menjadi kuat dan kental. Dalam hal perjuangan, budi luhur, dan kecerdasan, serta komunikasi yang membekas rasa-rasanya Pak Anies tidak ada lawan.
Kalau Bung Karno pemengang gelar Singa Podium karena pidato yang berapi-api, kalau Pak Anies Baswedan justru Lebah Berbisa yang menyengat, tajam, dan sulit untuk dibantah. Setiap argumennya sangat berisi, setiap kebohongan dapat beliau ungkap, dan setiap kata bisa beliau pertanggungjawabkan.
Di satu sisi karena beliau memang sangat berilmu, dan di satu sisi karena beliau selalu berjalan di atas pilihan yang benar sehingga tidak akan pernah takut untuk disalahkan. Mereka yang takut dikritik dan disalahkan adalah mereka yang benar-benar melakukan kesalahan dan penyimpangan bukan??.
Mengenai Pak Ganjar, penulis sendiri belum melihat jelas karakternya. Meskipun bagi rakyat Jawa Tengah, Pak Ganjar adalah sosok yang baik hati. Namun kelugasannya tentang video haram di masa yang lalu membuat penulis berfikir, berharap hal ini tidak dikaitkan dengan almamater??.
Dua figur Pak Anies dan Pak Ganjar hari ini meniti karir politik di jalan yang berbeda. Termasuk ide politik yang dibawa dari segi asas dan penerapan terlihat perbedaan.
Dalam kasus IKN misal, Pak Anies beranggapan bahwa pembangunan IKN dilandasi oleh praktek negara kekuasaan bukan negara demokratis sehingga tidak ada ruang publik untuk memberikan pendapat. Hal tersebut tentu bertentangan dengan pendapat Pak Ganjar dan ide Pak Ganjar tentang IKN itu sendiri.
Jalan politik Pak Anies berpijak pada kebijaksanaan, kemaslahatan rakyat, merangkul seluruh golongan, dan religius. Poin religius ini bagi umat islam sendiri adalah yang utama untuk melihat Pak Anies. Pemimpin yang peduli agama Islam, peduli umat Islam, dan menolong menegakkan agama Islam adalah figur yang dicari umat islam.
Apakah sosok religius Anies adalah pencitraan??. Penulis menganggap religius adalah pencitraan ketika ibadah dan ketaatan dilakukan jika ada keperluan saja. Sedangkan jika ketaatan dan ibadah adalah kebiasaan sehari-hari, maka hal tersebut bukan pencitraan.
Bahkan penulis melihat Kakek Pak Anies yakni Abdurrahman Baswedan selaku pahlawan nasional pun selalu menggunakan peci sebagai identitas islam yang melekat pada dirinya. Maka, sejak dari Kakek Pak Anies bisa dikatakan sudah religius. Ketaatan, ibadah, dan identitas islam sudah melekat bukan pencitraan.
Sedangkan Pak Ganjar sendiri tampaknya memiliki langkah politik mempertahankan sekulerisme dan kapitalisme itu sendiri.
Baca Juga: Jokowi Masa Lalu, PDIP Move On
Lalu, Kemana Saya??
Saat dua kandidat UGM ini maju di pilpres, maka suara alumni pun akan pecah. Namun, penulis sendiri tidak ingin disebut "pilih Pak Anies atau Pak Ganjar". Penulis memiliki langkah politik yang bukan Anies bukan juga Pak Ganjar, dan bukan yang bukan UGM.
Langkah politik penulis adalah membangkitkan umat dan membangkitkan peradaban dengan Islam. Islam mengajarkan tentang politik yaitu mengurusi urusan umat, memelihara umat dengan syari'at.
Pemilu hanya sebagian kecil dari politik di dalam Islam, dan memberikan kedaulatan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah perkara subtansi dalam politik Islam. Sehingga berpolitik di dalam Islam dapat dilakukan siapa saja dan dimana saja selagi diarahkan untuk kepentingan memelihara umat.
Baca Juga: Organisasi Kampus di Ujung Tanduk
Namun, satu fakta yang tak bisa hilang, saya, Pak Anies, Pak Ganjar, sama melangkah masuk UGM untuk bangsa ini mulanya, namun keluar dengan langkah masing-masing.
Satu identitas yang tidak bisa dihapus dari saya, Pak Anies, dan Pak Ganjar : KAMI ADALAH UGM. Namun, langkah politik selaku alumni UGM bisa jadi saling berbenturan satu sama lain.
Bagaimana para alumni UGM harus berfikir sebagai warisan kampus pemikir?? Mungkin itulah awal titik temu kembali. Karena UGM itu menyatukan seperti jiwa Patih Gadjah Mada.
Sumber: Kompasiana
[Penulis adalah alumni Universitas Gajah Madah (UGM)]