-->
  • Jelajahi

    Copyright © Media Indosatu - Menuju Indonesia Maju
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Warga Padang Halaban Labura Terancam Penggusuran Kebun Sawit, Harap Perlindungan Komnas HAM

    Mahasiswa Cumlaude
    04 Maret 2025, 11:27 WIB Last Updated 2025-03-04T04:27:37Z
    Banner IDwebhost

    Seorang ibu warga padang halaban menangis di teras rumahnya membayangkan penggusuran (Foto: Warga Padang Halaban)

    INDOSATU.ID - Warga Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) khususnya yang berdomisili di Kampung Baru, Sidomukti, Kecamatan Aek Kuo, kini berada dalam situasi terancam kehilangan tempat tinggal.

    Hal ini menyusul kabar mengenai rencana penggusuran lahan yang mereka huni, yang diklaim sebagai bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan sawit, PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART).

    Stephan Sinisuka, Head of Corporate Communication Sinar Mas Agribusiness and Food, mengonfirmasi bahwa eksekusi lahan di Padang Halaban memang direncanakan, namun ditunda hingga pekan depan.

    Meskipun demikian, Stephan tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai penolakan yang disampaikan oleh warga setempat, yang mengklaim telah menduduki lahan tersebut sejak zaman kolonial.

    "Kami terus berupaya mencari jalan damai sebagai itikad baik perusahaan untuk menyelesaikan situasi ini," ungkapnya, seperti dilansir dari Tempo.

    Ia menambahkan bahwa perusahaan berkomitmen untuk meminimalisir segala gangguan dan kendala dalam proses eksekusi berdasarkan putusan pengadilan.

    Pengadilan Negeri Rantau Prapat juga telah mengumumkan penundaan eksekusi lahan Padang Halaban melalui surat nomor 555/PAN.PN/W2.U13/HK2.4/II/2025, yang dikeluarkan pada 28 Februari 2025.

    Warga Mengadu ke Komnas HAM

    Pada 24 Februari, Misno, salah satu warga, menerima salinan surat eksekusi lahan dari Pengadilan Negeri Rantau Prapat.

    Ia merasa cemas setelah membaca surat tersebut, yang menyatakan bahwa kebun dan tempat tinggal warga di Kampung Baru Sidomukti akan diratakan oleh perusahaan sawit.

    Dalam upaya mencari keadilan, Misno dan rekannya, Suherman, terbang ke Jakarta untuk mengadukan nasib mereka kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

    Keduanya tiba di ibukota pada Kamis, 27 Februari 2025, dan mengunjungi Komnas HAM bersama organisasi masyarakat sipil, termasuk KontraS, Agrarian Resource Center (ARC) Indonesia, dan Perhimpunan International People’s Tribunal (IPT) 65.

    Dalam audiensi dengan Prabianto Mukti Wibowo, Komisioner Komnas HAM Bidang Mediasi, Misno berharap agar Komnas HAM dapat bertindak untuk membatalkan penggusuran lahan warga atau setidaknya menunda eksekusi tersebut.

    "Kami datang untuk meminta bantuan agar selamat dari ancaman eksekusi," ujarnya.

    Warga juga meminta agar Komnas HAM turun langsung ke lokasi lahan untuk mencegah penggusuran dan potensi bentrokan dengan aparat.

    Masalah konflik lahan ini sebenarnya telah dilaporkan ke Komnas HAM belasan tahun lalu, ketika perusahaan berusaha menggusur warga dari lahan yang mereka huni.

    Reza Muharam, pendamping warga, menegaskan bahwa masalah ini bukan sekadar konflik lahan, melainkan juga pelanggaran hak asasi manusia.

    Ia menjelaskan bahwa warga telah menduduki lahan seluas 3.000 hektar sejak zaman kolonial Jepang dan mendapatkan pengakuan serta surat Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah (KRPPT) pada era Presiden Sukarno.

    Pada 1965, saat Gerakan 30 September (G30S) terjadi, banyak warga yang terusir oleh tentara dengan tuduhan sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

    "Pembunuhan dan pemerkosaan terjadi. Saya tidak tahu berapa ratus orang yang hilang," terang Reza.

    Ia juga menambahkan bahwa sebagian warga bekerja di perkebunan sawit tanpa upah, hanya mendapatkan makanan. "Mereka seperti pekerja paksa, tidak digaji dan diawasi," tambahnya.

    Reza mendesak Komnas HAM untuk bertindak sebagai penengah antara warga dan perusahaan sawit, serta mengeluarkan rekomendasi untuk melindungi warga dari eksekusi lahan.

    Prabianto menyatakan bahwa pihaknya akan mengirim surat permohonan penundaan eksekusi lahan kepada Pengadilan Negeri Rantau Prapat untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

    Saurli Siagian, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, memperingatkan bahwa jika eksekusi tetap dilaksanakan, kemungkinan akan terjadi bentrokan.

    "Ini bisa berdarah-darah. Warga ini tidak tahu lagi harus ke mana, tidak ada tempat lain bagi mereka," katanya.

    Ia menekankan pentingnya menghindari risiko kekerasan dan merekomendasikan penundaan eksekusi lahan.


    Sumber: Dilansir dari berbagai sumber
    Editor: Admin
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    close
    Banner iklan disini